Upah Minimum Warga Rp 57 Ribu/Bulan, Negara Bangkrut Ini Gelar Pemilu
Jakarta, CNBC Indonesia - Venezuela menyelenggarakan pemilihan presiden (pilpres) pada Minggu. Pesta demokrasi itu mempertemukan presiden petahana Nicolas Maduro dengan penantangnya, Edmundo Gonzalez.
Mengutip Reuters Senin (29/7/2024), sejumlah warga masih terus mengantre meski waktu telah menunjukan hampir pukul 6 sore, waktu di mana tempat pemungutan suara ditutup. Meski begitu, tempat pemungutan suara tetap dibuka bagi mereka yang masih mengantre.
Jaksa Agung Tarek Saab dari ibu kota Caracas mengatakan penyelenggaraan pemilu berjalan damai dan ia tidak memperkirakan akan adanya potensi konflik pasca tempat pemungutan suara ditutup. Ia mengharapkan agar hasilnya dapat keluar pada Minggu malam.
Kurang dari satu blok dari kantor Saab di Caracas Tengah, puluhan pendukung partai yang berkuasa datang bersama-sama dengan sepeda motor di luar sekolah menengah Andres Bello. Mereka berkelahi dengan pendukung oposisi yang berkumpul di luar tempat itu selama 20 menit.
Sejauh ini, belum ada publikasi hasil pemilu ataupun exit poll. Ini dikarenakan aturan pemilihan umum di Venezuela yang tidak memperkenankan adanya hal-hal semacam itu disiarkan di publik.
Gonzales dan pemimpin koalisinya, Maria Corina Machado, telah menjadi bintang kampanye dari kelompok oposisi. Sebenarnya, Machado yang awalnya mengajukan diri menjadi calon presiden, namun muncul larangan baginya untuk memegang jabatan publik.
Gonzalez telah memperoleh dukungan bahkan dari beberapa mantan pendukung partai yang berkuasa. Namun sejumlah oposisi dan pengamat mengajukan pertanyaan menjelang pemungutan suara apakah itu akan adil, dengan menitikberatkan penangkapan staf oposisi yang diduga diadakan untuk menciptakan hambatan.
Di sisi lain, Maduro, yang pemilihannya kembali pada tahun 2018 dianggap curang oleh sejumlah negara Barat, mengatakan Venezuela memiliki sistem pemilu paling transparan di dunia. Ia juga memperingatkan tentang adanya 'pertumpahan darah' jika ia kalah.
Sementara itu, sejumlah pemilih pun menitikberatkan pilihan mereka dengan alasan ekonomi. Beberapa diantaranya masih memilih Maduro karena ia dianggap sebagai penerus dari pendahulunya, Hugo Chavez, yang dikenal melakukan "pembengkakan" anggaran negara untuk program-program sosial.
"Saya bekerja membersihkan rumah dan keempat cucu saya bergantung pada saya. Saya hanya memperoleh US$ 15 (Rp 244 ribu) per minggu dan itu cukup untuk makan satu hari tetapi tidak untuk hari berikutnya," kata Luisa Gonzalez, 61 tahun, yang memberikan suara di negara bagian Bolivar, yang secara tradisional merupakan basis partai yang berkuasa.
"Kami telah menghabiskan waktu bertahun-tahun mencari perubahan. Saya seorang Chavista, tetapi orang-orang telah berubah," katanya, menggunakan istilah untuk pendukung partai yang berkuasa, merujuk pada mendiang Presiden Hugo Chavez.
Pemerintahan Maduro telah memimpin keruntuhan ekonomi, migrasi sekitar sepertiga penduduk, dan kemerosotan tajam dalam hubungan diplomatik. Kondisi ini "dimahkotai" oleh sanksi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, dan negara-negara lain yang akhirnya melumpuhkan negara minyak yang sudah berjuang ini.
Upah minimum warga setara dengan US$ 3,50 (Rp 57 ribu) per bulan, sementara makanan pokok untuk keluarga beranggotakan lima orang diperkirakan berharga sekitar US$ 500 (Rp 8,1 juta). Banyak orang menerima keranjang makanan dari pemerintah atau kiriman uang dari kerabat di luar negeri.
Maduro mengatakan jika kembali berkuasa, ia akan menjamin perdamaian dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini membuat sebagian kalangan masih terus memberikan dukungan padanya.
"Ada hal-hal yang tidak diragukan lagi perlu ditingkatkan di negara kita, tetapi pemerintah ini telah melewati sanksi dan blokade yang tidak ada duanya. Itulah sebabnya saya mendukung Presiden Maduro dan berpikir ia layak mendapatkan kesempatan lagi," kata Jose Lopez, 57, saat ia menunggu untuk memberikan suara di pusat kota Valencia.
Mengutip CNN International, Venezuela seharusnya adalah negara terkaya di Amerika Selatan. Namun negeri itu mulai mengalami kebangkrutan di 2014 di mana di 2022, Maduro sempat mengatakan negerinya tak mampu membayar utang US$ 150 miliar.
(sef/sef)