Impor Bijih Nikel Melesat, Begini Kata Dirjen Minerba
Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) angkat suara perihal isu maraknya impor bijih nikel di tengah program hilirisasi nikel di dalam negeri. Terlebih, Indonesia merupakan pemilik cadangan nikel terbesar di dunia.
Plt. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Suswantono menyebut, impor nikel merupakan isu yang sudah berlalu. Dia mengaku, saat ini sudah tak ada isu impor bijih nikel lagi.
"Enggak, itu (impor nikel) yang lalu. Itu yang lalu," jawab Bambang saat ditanya perihal melonjaknya impor bijih nikel pada tahun ini, saat ditemui di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (22/7/2024).
Menurutnya, kebutuhan nikel di Indonesia seharusnya sudah bisa dipenuhi dari tambang dalam negeri. Apalagi, lanjutnya, pihaknya telah menyetujui Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) perusahaan tambang nikel tahun 2024 -2026 dengan jumlah produksi bijih nikel mencapai 240 juta ton per tahun.
"Tapi yang jelas sudah melebihi kuota yang dibutuhkan negara," tambahnya.
Seperti diketahui, terkuaknya isu impor bijih nikel RI ini ketika salah satu perusahaan pabrik pengolahan nikel di Kalimantan, yakni PT Kalimantan Ferro Industry (KFI) mengaku terpaksa mengimpor bijih nikel dari negara lain, khususnya dari Filipina, hingga 51.000 ton pada tahun 2024 ini.
Alasannya, banyak perusahaan tambang dalam negeri tak bisa menjual bijih nikel lantaran belum memiliki persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Direktur Utama PT Nityasa Prima sebagai konsorsium PT KFI, Muhammad Ardhi Soemargo, menjelaskan keputusan impor dilakukan guna memastikan agar smelter milik perusahaan yang berada di Desa Pendingin, Sanga-Sanga, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur dapat tetap beroperasi.
"Ketika bapak mengatakan kenapa kami harus ambil dari Filipina karena beberapa tambang belum dapat RKAB, ketika tambang belum ada RKAB maka kami gak bisa beli," kata dia dalam RDP bersama Komisi VII DPR RI, dikutip Selasa (9/7/2024).
Sementara, perusahaan memerlukan pasokan bijih nikel untuk diolah di proyek smelternya. Terlebih, terdapat 1.400 tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya kepada smelter tersebut. Adapun, volume impor bijih nikel dari Filipina tercatat mencapai 51 ribu ton.
"Tadi ketika saya sampaikan kepada bapak pimpinan mengenai adanya nikel datang dari Filipina disampaikan bahwa nikel Filipina itu kami baru masuk hanya 1 vessel pak sekitar 51 ribu (ton) dan posisi kami hanya untuk membantu menambahkan hal-hal atau nickel ore yang saat ini kekurangan pak," tambahnya.
Jika ditelisik dari data Statistik Perdagangan Luar Negeri Badan Pusat Statistik (BPS), rupanya bukan kali pertama RI mengimpor bijih nikel meskipun Indonesia pemilik cadangan nikel terbesar di dunia. Berdasarkan data BPS, sejak 2020 hingga April 2024 saja impor bijih nikel dan konsentrat tercatat mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
Di 2020, berat bersih bijih nikel dan konsentrat yang diimpor mencapai 886 kilogram (kg) dengan nilai Cost Insurance and Freight (CIF) mencapai US$ 23.361. Namun pada 2022, berat bersih bijih nikel yang diimpor naik signifikan menjadi 22,5 juta kilo gram dengan CIF-nya mencapai US$ 2,32 juta.
Pada periode Januari-April 2024, angkanya menjadi fantastis yakni mencapai 507,7 juta kilo gram atau 507,7 ribu ton.
Adapun, jika dilihat dari data Statistik Perdagangan Luar Negeri, impor bijih nikel dari Filipina menjadi yang terbesar yakni mencapai 374,45 juta kilogram, dengan nilai CIF-nya mencapai US$ 16 juta.
(wia)