Badai PHK Hantam Thailand, Ekonom Ingatkan Ini ke Pemerintah
Tangerang, CNBC Indonesia - Pemerintah diminta serius menanggapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tengah melanda sektor manufaktur di negara-negara ASEAN, seperti Thailand. Kondisi itu dikhawatirkan menimbulkan efek domino yang bisa berdampak ke Indonesia.
Kekhawatiran masalah serupa bisa terjadi di Indonesia jika pemerintah tidak cepat tanggap. Tanda-tanda kondisi tersebut kelihatan pada banyaknya PHK di industri tekstil nasional yang selama ini mendapat hantaman cukup besar dari barang-barang impor.
"Berkaca dari kondisi yang terjadi di Thailand, utilisasi yang rendah menunjukkan permintaan konsumen yang rendah juga. Hal ini bisa disebabkan oleh efek substitusi karena ada barang yang jauh lebih murah dari luar negeri misalnya. Selain itu karena penurunan daya beli di dalam negeri," kata Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan dalam keterangannya, Jumat (19/7/2024).
"Di masa suram ekonomi dunia karena geopolitik yang tidak mendukung, pemerintah perlu melakukan afirmasi kebijakan untuk melindungi produsen dalam negeri yang menyerap banyak tenaga kerja," tambahnya.
Melansir Reuters, Thailand dikabarkan mengalami gelombang penutupan penutupan pabrik dan PHK besar-besaran. Sekitar 2.000 pabrik dilaporkan ditutup dalam setahun belakangan hingga menyebabkan 51.500 orang karyawan kehilangan pekerjaan.
Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin menyebutkan, tingkat utilisasi industri turun hingga di bawah 60% hingga membuat tak bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan yaitu di atas 5%. Badan perencanaan nasional Thailand, National Economic and Social Development Council, mengeluarkan pernyataan bahwa masalah tersebut muncul salah satunya karena arus deras barang impor dari China yang membuat industri dalam negerinya kesulitan bersaing.
Untuk itu, Abdllah merekomendasikan, 3 langkah yang diklaim strategis untuk menggeliatkan kembali industri manufaktur di Tanah Air.
"Pertama, Kementerian Koordinator bidang Perekonomian harus mampu mengkoordinir semua kepentingan dengan baik, demi kesejahteraan baik produsen maupun konsumen dalam negeri. Kedua, Kementerian Perindustrian harus menjalankan kebijakan seleksi impor yang ketat dan selalu mempertimbangkan dengan dalam dampak kebijakan terhadap daya saing industri dalam negeri," sebut Abdillah.
"Ketiga, Kementerian Keuangan harus mampu menciptakan kebijakan tarif impor yang mendukung daya saing industri dalam negeri. Keempat, Kementerian Perdagangan perlu menegaskan sikapnya dalam mendukung kepentingan nasional dengan tidak menghalangi pelaksanaan regulasi pengetatan impor yang sekarang dilakukan," tambah Abdillah.
Penegasan penyikapan dari kementerian-kementerian yang bertanggung jawab dalam memajukan sektor industri dalam negeri menjadi krusial di tengah situasi barang impor dari China deras masuk ke Indonesia.
"Kita harus fokus pada industri yang padat karya, dimana goncangan usaha akan berpotensi mendorong pemutusan hubungan kerja. Jika relaksasi ini dinikmati oleh importir barang yang padat karya, maka pemerintah harus memitigasi konsekuensinya," ujar Abdillah.
(dce)