
Faisal Basri "Serang" Menteri Jokowi, Sebut Manufaktur RI Lagi Limbung

Jakarta, CNBC Indonesia - Peranan industri manufaktur di Indonesia terus mengalami penurunan. Bahkan, pertumbuhannya disebut tidak pernah melampaui pertumbuhan PDB.
Share industri disebut turun terus dan saat ini tinggal 18,6%. Kondisi ini pun diwanti-wanti sebagai gejala deindustrialisasi.
Hal itu disampaikan oleh Ekonom senior yang juga merupakan pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri dalam Diskusi Publik Indef: Menguji Rencana Kebijakan BMAD Terhadap Keramik di Jakarta, Selasa (16/7/2024). Dia pun memberikan kritik pedas kepada menteri di kabinet Jokowi yang juga petinggi di salah satu partai.
Faisal Basri merespons rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) agar keramik impor asal China dikenakan bea masuk anti dumping (BMAD) berkisar 100-199%. Menurut KADI, mengutip pernyataan ASAKI, keramik impor asal China itu terbukti menimbulkan injury di dalam negeri.
Menurut langkah KADI itu norak dan seperti mencari kambing hitam. Soal banyaknya pabrik bangkrut, ujar dia, hal itu karena memang saat ini industri di dalam negeri banyak yang kondisinya "merah". Kondisi itu bukan hanya dialami industri keramik.
"Industrinya diganggu melulu," tukasnya.
"Industri manufaktur itu, kira-kira dalam periode observasi ini itu sepertiganya masih minus. Bukan keramik doang kalau pun minus. Industri lainnya juga minus terus. Sampai tahun 2022 lah ya [periode penyelidikan], masih banyak yang merah. Jadi ini tren industri," kata Faisal.
Karena itu, dia mempertanyakan solusi BMAD yang disiapkan pemerintah. Menurutnya, ada lompatan konklusi di balik penetapan rencana pengenaan BMAD tinggi atas keramik impor asal China itu.
"Masih merah melulu (kondisi industri nasional). Orang menterinya sibuk kampanye. Petinggi Golkar. Mana ngurusin," cetusnya.
"Anda pernah dengar Menteri Perindustrian bikin pernyataan? Jarang deh! Mungkin nggak semua Anda juga tahu Menteri Perindustrian siapa. Industri kita sedang limbung, semua sedang limbung. Dan tidak terdiversifikasi," ucap Faisal.
Dia pun memaparkan kinerja industri makanan dan minuman (mamin) olahan yang menyumbang 39,1% terhadap sektor nonmigas di dalam negeri. Jika ditambah industri kimia dan farmasi maka kontribusi kedua sektor itu adalah sebesar 50% atau tepatnya 49,6%.
"Jadi 2 industri itu dari 15 sudah nyumbang separohnya industri nonmigas. Nah, industri yang kita bahas ini (keramik)-industri non-metallic mineral, itu sharenya 2,8. Itu bukan keramik saja. Termasuk semen, apa, segala macam," sebutnya.
![]() Dalam Diskusi Publik: Menguji Rencana Kebijakan BMAD Terhadap Keramik (Selasa, 16/7/2024), Ekonom Senior INDEF Faisal Basri sebut kinerja manufaktur RI sedang limbung, (Tangkapan Layar Youtube INDEF) |
Lebih lanjut soal lonjakan impor keramik, Faisal menambahkan, volume impor tahun 2022 justru lebih rendah dibandingkan impor tahun 2018 (HS690721). Di mana, dari data BPS itu, kata dia, menunjukkan kondisi impor sebelum dan sesudah Pandemi Covid-19.
"Mana yang namanya dibanjiri impor? Saya bingung. Ini fenomena sebelum Covid kok. Ini data resmi loh, bukan data saya. Kalau kita lihat data total tidak ada membanjiri. Apa yang namanya membanjiri?," ujarnya.
Sebab, lanjut Faisal, impor yang terjadi setelah Pandemi Covid-19 masih rendah. Tidak ada kondisi yang menunjukkan impor membanjiri pasar dalam negeri.
"Saya takutnya itu seperti kasus Jindal itu. Intervensi," kata Faisal.
(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Menperin Pamer Manufaktur RI Tangguh, Cuma Saingan Sama Negara Ini
