Syarat Rasio Utang RI Naik, Prabowo Harus Bisa Lakukan Hal Ini

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
Senin, 15/07/2024 09:20 WIB
Foto: Chief Economist CNBC Indonesia, Anggito Abimanyu menjadi moderator dalam acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2024 di Jakarta, Kamis (29/2/2024). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Isu tentang rencana Presiden Terpilih Prabowo Subianto ingin menaikkan rasio utang ke level 50% terus mendapat perhatian publik. Posisi rasio utang pemerintah saat ini di kisaran 39% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Isu itu kini dihembuskan adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo dalam wawancara dengan Financial Times. Sebelumnya, isu itu telah beredar setelah pemberitaan Bloomberg dalam artikel berjudul "Prabowo Aims to Raise Indonesia Debt-to-GDP Ratio Toward 50%".

Saat berita itu beredar, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah hingga menyentuh level atas Rp 16.400/US$. Bank Indonesia (BI) pun telah memberikan pernyataan bahwa isu kenaikan rasio utang ke level 50% menjadi penyebab terkaparnya kurs rupiah.


Lantas, apa ada syarat-syarat khusus bagi pemerintah untuk menaikkan rasio utang supaya tak membuat gejolak di pasar keuangan?

Chief Economist CNBC Indonesia, Anggito Abimanyu menjelaskan, sebetulnya tak ada syarat khusus yang ditetapkan pelaku pasar keuangan ataupun secara akademik ketika pemerintah mau menaikkan rasio utang terhadap PDB. Namun, ada sejumlah hal yang membuat rasio utang itu mendapat perhatian khusus pelaku pasar keuangan.

"Ya, sebetulnya tidak ada yang baku dalam undang-undang. Undang-undang hanya butuhkan 60%. Itu dianggap batas yang aman. Namun tentu semakin rendah, semakin baik," ucap Anggito dalam program Squawk Box CNBC Indonesia, dikutip Senin (15/7/2024).

Anggito menyebutkan, dalam praktik tingkat utang yang ada di perusahaan-perusahaan, batas aman biasanya di kisaran 30-40%. Level batas aman utang itu pun secara umum menurutnya dilihat logis bagi para pelaku pasar keuangan terhadap negara-negara yang masih berstatus berkembang, atau belum pada level negara maju.

"Itu ada debt to equity ratio, sekitar 30%, itu sama. Kalau untuk public governance, mungkin 30% untuk negara berkembang seperti Indonesia. 30-40% itu masih dalam batas yang logis," tuturnya.

Selain itu, ukuran rasio utang yang aman dan bisa dinaikkan atau tidak itu sebetulnya tergantung pada tingkat kemampuan bayarnya yang masuk akal. Maka, akan sangat dipengaruhi pula oleh tingkat kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan negara.

"Tapi, semakin banyak pajaknya juga tidak bagus juga, jadi memang harus diseimbangkan. Antara penerimaan pajak yang berasal dari masyarakat, dari perekonomian, dan juga utang. Utang itu adalah suatu bentuk pinjaman yang harus dikembalikan, kalau pajak kan tidak harus dikembalikan," tegas Anggito.

"Tapi jangan lupa penerimaan pajak itu juga mendistorsi ekonomi kalau terlalu eksesif. Jadi memang harus dicari batasnya. Batasnya yang kira-kira diakui, menjadi referensi, itu sekitar 30-40%," ungkapnya.

Di sisi lain, ia melanjutkan, yang menjadi perhatian pelaku pasar keuangan ialah pemanfaatan utang itu. Bila digunakan untuk hal-hal yang tidak produktif, atau sebatas program bantuan sosial, seperti makan bergizi gratis maka akan mendapat sentimen negatif. Maka, utang harus diperuntukkan bagi program-program produktif yang meningkatkan kapasitas perekonomian dan memiliki nilai tambah.

"Cuma yang penting adalah bahwa utang itu untuk hal-hal yang sifatnya produktif. Itu yang ditanyakan oleh pelaku ekonomi," tuturnya.

Terakhir ialah rating atau peringkat utang itu sendiri yang harus dijaga di level investment grade. Dengan level utang yang dianggap sehat oleh lembaga pemeringkat utang global, maka imbal hasil atau yield serta bunga utangnya akan bisa semakin rendah.

"Itu murah bukan kita menekan jumlah utang secara sepihak, tapi juga memastikan bahwa pasar surat utang negara itu aktif, liquid. Sehingga memang biaya pinjaman bisa murah," ucapnya.

Sebagaimana diketahui, Hashim Djojohadikusumo mengungkapkan pemerintahan yang dipimpin kakaknya kelak akan menaikkan batas rasio utang negara hingga 50% dari posisi saat ini 39% terhadap PDB.

Kebijakan ini dilakukan untuk mendanai program belanja ambisius Prabowo dan Gibran, salah satunya makan bergizi gratis. kenaikan batas utang ini akan ditopang oleh peningkatan pendapatan pajak. Hashim mengaku tim Prabowo telah berkonsultasi dengan Bank Dunia.

"Idenya adalah untuk meningkatkan pendapatan dan meningkatkan tingkat utang," kata Hashim dalam wawancara di London, Inggris, dikutip Jumat (12/7/2024)

"Saya sudah berbicara dengan Bank Dunia dan menurut mereka 50% adalah tindakan yang bijaksana," lanjutnya.

Hashim mengatakan Prabowo tidak akan mengeksekusi kebijakan ini tanpa didahului oleh kenaikan penerimaan negara, baik pajak, cukai, PNBP, dividen, royalti dan lainnya.

"Kami tidak ingin menaikkan tingkat utang tanpa meningkatkan pendapatan," ujar Hashim.


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Ukuran Rumah Subsidi Menyusut, Ketua Satgas Perumahan Tak Terim