
Jokowi, Sri Mulyani, Bos BI & OJK Ungkap Kengerian Global, RI Gimana?

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi global masih diselimuti awan hitam. Perang hingga suku bunga tinggi masih menjadi permasalahan hingga saat ini. Kondisi ini semakin diperparah dengan ketidakpastian yang dipicu oleh pemilihan umum (Pemilu) yang berlangsung di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat (AS).
Kengerian ini telah ditangkap Presiden Joko Widodo atau Jokowi hingga sejumlah petinggi instansi ekonomi dan keuangan di negara ini.
Dalam pidato di acara penyerahan LHP BPK, Presiden Jokowi mengungkapkan situasi dunia makin kacau semenjak pandemi covid-19. Mulai dari ketegangan geopolitik, lonjakan inflasi, gejolak pasar keuangan hingga krisis di berbagai negara.
"Dalam beberapa tahun ini sedang menghadapi dunia penuh gejolak perang dagang yang semakin memanas dan iklim," ungkap Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, dikutip Selasa (9/7/2024).
Ekonomi global, lanjut Jokowi diperkirakan melambat pada 2024 atau di bawah ekspektasi banyak kalangan. Terbaru, Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan ekonomi tahun ini dan 2025 hanya mampu tumbuh 3,2%.
"Bahkan krisis ekonomi melanda beberapa Kawasan," tegasnya.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
"Alhamdulillah ekonomi dan politik Indonesia sangat stabil," jelas Jokowi.
Ekonomi tumbuh di sekitar 5% pada kuartal I-2024 dan inflasi terjaga di Bawah 3%. Momentum yang diharapkan bisa berlanjut ke depannya meski ketidakpastian perekonomian global masih tinggi.
"Namun untuk tumbuh lebih tinggi, untuk lebih kompetitif dengan negara lain, kita harus lincah cepat dan taktis," papar Jokowi.
Jokowi meminta semua jajaran agar terus bekerja, melihat setiap peluang namun tetap menjaga tata Kelola keuangan negara.
Dalam kesempatan berbeda, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengingatkan kondisi global pada semester II-2024 masih dipenuhi oleh ketidakpastian. Hal ini dipicu oleh perubahan akibat pemilihan umum (Pemilu) di sejumlah negara, termasuk AS dan kondisi geopolitik yang masih tinggi.
Oleh karena itu, Sri Mulyani mengungkapkan APBN harus terus dijaga karena dia jadi pelindung dan shock absorber. Hingga akhir semester I-2024, posisi APBN tercatat mengalami defisit 0,34% atau Rp 77,3triliun. Kendati defisit, Sri Mulyani menilai APBN tetap sehat.
"APBN 2024 walau defisit masih terjaga kesehatannya terbukti defisit masih di bawah 3%, bahkan pembiayaan bisa ditekan amat besar turun Rp 214 triliun dari penerbitan SBN dengan penggunaan SAL," ungkapnya dalam penyampaian Laporan Semester I APBN 2024 di DPR RI, dikutip Selasa (9/7/2024).
"Kami harap dalam suasana yang ketidakpastian pelaksanaan seluruh program K/L Pemda masih bisa dieksekusi untuk dorong momentum pertumbuhan ekonomi dan melindungi masyarakat agar meningkat kemakmurannya," tambahnya.
Adapun, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengungkapkan kondisi ekonomi global yang masih menantang.
Mahendra dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) OJK menyebut bahwa perekonomian global masih menunjukkan tren pelemahan.
"AS perekonomiannya lebih rendah dari ekspektasi, di tengah inflasi yang masih sticky," jelas Mahendra dalam konpers RDKB, Selasa (9/7/2024).
Dirinya menambahkan kondisi dari ekonomi besar dunia lainnya juga masih jauh dari kondisi ideal. Mahendra mengungkapkan bahwa di Eropa saat ini sedang mengalami stagnasi pertumbuhan ekonomi dengan kondisi fiskal yang juga masih menantang.
Lebih lanjut dirinya mengungkapkan tantangan yang datang dari China yang merupakan ekonomi terbesar kedua dunia.
"Di Tiongkok ada decoupling demand dan supply di tengah stimulus oleh pemerintah Tiongkok," ungkap Mahendra.
Meski demikian dari domestik kondisinya jauh lebih baik. Mahendra melihat permintaan masyarakat berlanjut tumbuh.
"Inflasi inti stabil, pertumbuhan uang beredar meningkat yang mengindikasikan penguatan permintaan," ungkap Mahendra.
Dirinya juga mengungkapkan kondisi manufaktur masih ekspansif tapi termoderasi. Indeks PMI Manufaktur tercatat turun jadi 50,7 dibandingkan tahun lalu 52,1.
"Di sisi kebijakan, OJK tetap cermati downdside risk ke depan yang dapat berdampak pada sektor keuangan nasional," kata Mahendra.
Sejalan dengan pandangan Presiden dan rekannya di KSSK, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menilai kondisi global masih dibayangi ketidakpastian yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi global stagnan dan geopolitik masih tidak pasti.
"Pertumbuhan tahun ini 3,2%, stagnan...inflasi global juga tidak turun-turun, sangat lambat. 6,6% sekarang masih tinggi," tegasnya.
Sementara itu, Fed Fund Rate (FFR) diperkirakan hanya akan turun sebanyak satu kali pada akhir tahun ini, dari 5,5% menjadi 5,25%. Baru tahun depan, kata Perry, The Fed menurunkan FFR sebanyak 2-3 kali.
Kemudian, utang pemerintah AS yang tinggi memicu bunga obligasi AS tenor 10 tahun tetap tinggi di 4,3%. Bahkan, yield obligasi tenor jangka pendek lebih tinggi lagi, yakni mencapai 4,8%.
"Ini sebabkan dampaknya terhadap aliran modal asing ke berbagai negara termasuk Indonesia," ujar Perry saat rapat kerja dengan Banggar DPR RI.
Hal ini, menurutnya, menjadi penyebab indeks dolar AS (DXY) tetap perkasa di level 105,5. Akibat kondisi ini, Perry menilai banyak negara, termasuk Indonesia, harus bertahan dalam menghadapi dampak global ini agar ekonomi tetap stabil dan tumbuh.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ingatkan Soal Global, Jokowi: RI Harus Belajar dari Krisis 1998-2018
