
Ampuh! Tetangga RI Punya Program Sampah Laut Tukar Sekantong Beras
Aktivis lingkungan resor menyelam Filipina temukan cara baru membersihkan pantai dengan menukar sekantong beras untuk setiap karung sampah yang dikumpulkan.

Sejumlah aktivis lingkungan di sebuah resor menyelam di Filipina menemukan metode baru untuk membersihkan pantai kota itu. Mereka menawarkan sekantong beras sebagai imbalan untuk setiap karung sampah yang dikumpulkan oleh penduduk setempat. (REUTERS/Lisa Marie David)

Dikutip Reuters pada Rabu (3/7/2024), Mabini, yang terletak di provinsi Batangas, terkenal dengan terumbu karangnya yang indah dan keanekaragaman hayati lautnya. (REUTERS/Lisa Marie David)

Namun, relawan Giulio Endaya mengatakan bahwa meningkatnya polusi plastik menimbulkan ancaman yang semakin besar terhadap hewan laut seperti penyu. “Mereka diketahui memakan sedotan dan kantong plastik, dan ikan-ikan tersebut juga memakan mikroplastik yang terurai di pantai,” kata Endaya. (REUTERS/Lisa Marie David)

Namun, sejak program beras-untuk-sampah dimulai hampir dua tahun lalu, lebih dari 4,3 metrik ton sampah plastik telah berhasil dikumpulkan, tambahnya. Sebagai gantinya, 2,6 ton beras telah didistribusikan. Beras tersebut dibagikan dalam kantong seberat 1 kg, yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebuah keluarga kecil. (REUTERS/Lisa Marie David)

Sebuah penggalangan donor swasta dan perusahaan kecil menyumbangkan dana untuk program ini, yang juga membantu keluarga berpenghasilan rendah mengurangi biaya makanan mereka menyusul lonjakan harga beras dalam beberapa tahun terakhir. (REUTERS/Lisa Marie David)

“Dalam sebulan saya butuh empat setengah karung beras, sekarang yang harus saya beli hanya dua karung, itu sangat membantu,” kata warga Janeth Acevedo, 46 tahun sambil memilah sampah yang dikumpulkannya. (REUTERS/Lisa Marie David)

Filipina merupakan penyumbang sampah plastik ke laut terbesar di dunia, menyumbang 36% dari total sampah plastik global, menurut laporan terbaru yang dirilis pada bulan April 2022 oleh proyek Our World in Data di Universitas Oxford. (REUTERS/Lisa Marie David)