
Jaya di Era Soeharto, Ini Biang Kerok Kampus Tekstil RI Kini Sisa 6

Jakarta, CNBC Indonesia - Kampus tekstil yang dulunya sempat berjaya di masa pemerintahan Presiden Soeharto, kini mulai berguguran. Dari yang sebelumnya terdapat belasan kampus tekstil, kini hanya tersisa enam kampus tekstil yang masih beroperasi. Itu pun lima diantaranya merupakan kampus baru, bukan yang sudah beroperasi sejak masa kejayaan tersebut.
Lantas, apa yang menjadi biang kerok dari bergugurannya kampus-kampus tekstil itu?
Ketua Umum Insan Kalangan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI) M Shobirin Hamid mengatakan, fenomena satu per satu kampus tekstil tutup disebabkan oleh aspek keberterimaan dari masyarakat itu sendiri.
"Dengan banyaknya berita-berita bahwa pabrik tekstil berguguran (atau) bertumbangan, mungkin banyak di masyarakat atau orang tua akan berpikir ulang untuk menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi tekstil," kata Shobirin kepada CNBC Indonesia, Jumat (28/6/2024).
Menurutnya, hanya perguruan tinggi negeri yang dikelola pemerintah saja yang berhasil bertahan di tengah fenomena bergugurannya kampus tekstil. Karena setidaknya perguruan tinggi tekstil negeri masih memiliki daya tarik bagi masyarakat, yakni dari segi pembiayaan yang relatif lebih murah dan masyarakat menganggap perguruan tinggi negeri mutu pendidikannya jauh lebih baik ketimbang swasta.
Sementara nasib perguruan tinggi swasta, katanya, memprihatinkan karena tidak ada peminatnya.
"Perguruan tinggi tekstil negeri biaya yang relatif lebih murah, (karena) disubsidi pemerintah dan lain sebagainya. Selain itu di perguruan tinggi negeri juga dianggap mutu pendidikannya jauh lebih baik. Nah karena itu, maka (kampus tekstil negeri) bisa bertahan di tengah gelombang mindset masyarakat yang menganggap bahwa pabrik tekstil berguguran dan tidak memiliki masa depan," ujarnya.
Namun, persepsi atau cara pandang yang menganggap industri tekstil tak memiliki masa depan itu dibantah dengan tegas oleh IKATSI. Menurutnya, hanya industri tekstil yang produknya digunakan sejak manusia lahir hingga meninggal dunia.
"Kami dari IKATSI melihat bahwa ini tidak bisa seperti itu, harus seiring atau sejalan antara industri, pemerintah dan antara perguruan tinggi di sini. Karena perguruan tinggi itu adalah bagian dari penyuplai para teknokrat yang nanti akan berkecimpung di industrinya," ucap dia.
"Mindset 'ngapain kuliahkan anak ke akademi tekstil yang industrinya saja nggak ada' sebetulnya sesuatu yang logis dan wajar. Tapi industri tekstil itu tidak hanya melihat industrinya saja, tetapi juga di pendidikannya," sambungnya.
Karena bagaimanapun juga, lanjut Shobirin, seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin maju, maka itu harus diimbangi juga dengan para pengelolanya yang juga harus harus memiliki keilmuan memadai secara teknis. Sehingga dibutuhkan teknokrat lulusan akademi tekstil, untuk masa depan industri tekstil nasional yang semakin maju.
"Sekarang tekstil sudah tidak dianggap lagi sebagai suatu industri yang melulu padat karya. Sekarang dengan teknologi maju di tekstil itu ada yang pakai AI, sudah maju karena digitalisasi. Digitalisasi kan tidak hanya ada di teknologi informasi, itu sudah masuk ke segala, termasuk di industri tekstil begitu," pungkasnya.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ternyata Industri Tekstil RI Masih Megap-megap, Ini Biang Keroknya
