Bukan AS atau Eropa, Ini Kiblat Rantai Pasok Kendaraan Listrik Dunia

Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia saat ini tengah berlomba-lomba untuk menggenjot pengembangan mobil listrik. Adapun dari beberapa negara besar yang terlibat, China mempunyai peran yang signifikan terhadap masifnya laju pertumbuhan kendaraan listrik global.
Bahkan, untuk penguasaan teknologi dalam hal pengolahan mineral kritis, China mampu menyaingi Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa China mempunyai pengembangan ekosistem kendaraan listrik yang sangat maju dibandingkan negara lain. Hal tersebut seiring dengan penguasaan teknologi yang dimiliki Negeri Panda tersebut.
Dalam paparannya pada acara CNBC Indonesia MINDialogue belum lama ini, Luhut menjelaskan bahwa Indonesia harus beradaptasi dengan tren kebijakan perdagangan dunia yang mengarah kepada fragmentasi geopolitik untuk memperoleh manfaat yang optimal.
Menurut dia, saat ini China memiliki keunggulan penguasaan teknologi dalam hal pengolahan mineral kritis dan penyediaan modal. Terutama, untuk pengembangan kendaraan listrik ke depan.
Adapun, Indonesia telah memperoleh manfaat yang signifikan dari kerja sama dengan Tiongkok dalam hilirisasi mineral. Meski begitu, pasar domestik Tiongkok di sektor hilir cukup terbatas karena faktor kompetisi yang ketat, sehingga diperlukan perluasan akses pasar.
"Mereka (China) melakukan research luar biasa. Kita, untungnya dengan ada high level dialogue dengan Tiongkok, kita bekerja sama dengan mereka, sehingga kita bisa mengikuti. Sekarang bisa kita bangun kerja sama langsung," katanya dalam acara CNBC Indonesia MINDialogue di Jakarta, dikutip Senin (24/06/2024).
Luhut pun sempat menyebut, tertinggalnya teknologi Amerika Serikat dibandingkan China ini sempat diakui oleh pabrikan kendaraan listrik asal AS, Tesla.
"Saya juga sampaikan bagaimanapun teknologi smelter HPAL ini ketinggalan 9 tahun ini diakui Tesla ketinggalan dari Tiongkok," ujarnya.
Luhut menjelaskan, lebih majunya China dalam hal rantai pasok mineral kritis untuk kendaraan listrik karena didukung oleh pengembangan riset dan pengembangan (research and development/ R & D) yang lebih maju dibandingkan dengan negara-negara Barat.
"Tiongkok mendominasi supply chain mineral kritis untuk EV, karena pengembangan R&D yang lebih maju dibandingkan negara-negara Barat. Ini menarik. Kenapa? Saya melihat ke universitas-universitas di Tiongkok, mereka punya dana research, itu seperti Jinjiang University, dana research-nya itu hanya satu Universitas Jinjiang, itu US$ 450 juta," bebernya.
Luhut menyebutkan, dengan masifnya riset yang dilakukan, hasilnya China bisa menandingi kemajuan teknologi dari negara-negara Barat.
"Itu adalah tadi, untuk tadi, mineral satu, research untuk besi-besi, apa namanya itu. Mereka begitu besar. Nah, Tiongkok ini betul-betul memajukan research mereka," jelasnya.
Indonesia sendiri, Luhut mengatakan riset yang dilakukan dalam negeri termasuk untuk mengembangkan kendaraan listrik terhitung sangat kurang. Bila dibandingkan dengan riset di China, di mana untuk satu kampus saja bisa sebesar US$ 450 juta atau sekitar Rp 7,2 triliun (asumsi kurs Rp 16.000 per US$), sementara itu Indonesia hanya menggelontorkan dana Rp 27 triliun secara akumulasi untuk seluruh perguruan tinggi di Tanah Air.
"How can you compete with Jinjiang? How can you compete? Kita dana research kita, berapa? Rp 27 triliun. Untuk seluruh nasional. Ini satu universitas saja US$ 450 juta," tambahnya.
Berdasarkan data dari SNE Research, China saat ini merupakan produsen baterai kendaraan listrik terbesar di dunia. Pada 2023 China memproduksi 448,3 Giga Watt hour (GWh) atau 63,6% dari total produksi baterai kendaraan listrik dunia yang mencapai 705,4 GWh.
Setelah China, produsen baterai kendaraan listrik terbesar kedua dunia yaitu Korea Selatan dengan jumlah produksi 162,8 GWh pada 2023 atau 23,1% dari porsi pasokan dunia.
Posisi ketiga ditempati Jepang dengan jumlah produksi 44,9 GWh atau 6,4% dari total pasokan baterai dunia.
Kekuatan AS dan Uni Eropa
Di sisi lain, AS memiliki keunggulan akses pasar yang besar di dalam negeri, meskipun secara teknologi dalam pengolahan mineral kritis cukup tertinggal dengan Tiongkok.
Namun, kebijakan AS yang menerapkan tarif dan IRA melalui Foreign Entity of Concern (FEOC) menerapkan limitasi terhadap produk yang berasal dari Tiongkok. Oleh karena itu Critical Mineral Agreement dengan AS menjadi penting.
Sedangkan untuk Uni Eropa dinilai memiliki keunggulan akses pasar, namun masih tertinggal dalam penguasaan teknologi dibandingkan Tiongkok.
Luhut menilai, kebijakan proteksionisme melalui green policies berpotensi menimbulkan barrier terhadap produk-produk dari Indonesia. Namun, kebijakan tarif kepada Tiongkok berpotensi menguntungkan Indonesia.
"Indonesia sedang finalisasi CEPA untuk perluasan akses pasar," kata Luhut.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kuasai 14 Mineral Kritis, MIND ID Siap Go Global
