
Perang Dagang AS-China Meruncing, RI Cs Siap Ketiban 'Durian Runtuh'

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China telah membuat sejumlah perusahaan menjauh dari Negeri Tirai Bambu. Kebanyakan dari mereka pun dilaporkan menuju Asia Tenggara.
Mengutip CNBC International, perusahaan modal ventura Monk's Hill Ventures mengungkapkan bahwa Asia Tenggara dinilai menjadi salah satu wilayah terbaik bagi perusahaan dunia atau China untuk menghindari produksi di Negeri Tirai Bambu. Hal ini juga didorong oleh faktor Covid-19 yang sebelumnya melumpuhkan China.
"Asia Tenggara berada dalam posisi yang baik untuk mendapatkan keuntungan yang signifikan dari fenomena China+1 karena perusahaan asing dan China melakukan diversifikasi rantai pasokan dan operasi mereka," kata Kuo-Yi Lim, salah satu pendiri Monk's Hill Ventures, Senin (24/6/2024).
"(Ketegangan) geopolitik mempercepat kegiatan-kegiatan ini, yang dimulai selama lockdown akibat Covid-19," tambah Lim.
Strategi China+1 berupaya mengurangi risiko yang terkait dengan ketergantungan total pada pasar atau rantai pasokan di China. Hal ini dilakukan dengan diversifikasi operasi manufaktur dan juga berekspansi ke negara lain bahkan ketika perusahaan tetap hadir di Negeri Tirai Bambu.
Hal ini telah mendorong investasi yang lebih besar ke blok Asean. Investasi asing langsung ke perekonomian Asean seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, dan Vietnam meningkat menjadi US$ 236 miliar (Rp 3.878 triliun) pada 2023. Arus dana masuk sebagian besar datang dari AS, Jepang, Uni Eropa serta China Daratan dan Hong Kong.
"Kawasan Asean-6 telah memperoleh manfaat dari diversifikasi rantai pasokan global dan regional serta penerapan strategi 'China+1'. Arus masuk FDI dari China Daratan dan Hong Kong SAR ke kawasan ini telah meningkat, dengan sektor manufaktur dan jasa tertentu menerima sebagian besar arus masuk," kata para ekonom OCBC.
Secara terperinci, Vietnam disebut sebagai pusat manufaktur teknologi baru untuk para perusahaan yang kabur dari China. Negeri Paman Ho ini telah menjadi pusat produksi bagi Apple dan Samsung.
"Vietnam mempunyai sejumlah keuntungan tambahan. Biaya tenaga kerja yang kompetitif, akses pasar di mana Vietnam mempunyai banyak perjanjian perdagangan bebas, membuatnya lebih mudah untuk mengekspor ke pasar lain, misalnya Uni Eropa," Kai Wei Ang, ekonom ASEAN di BofA Securities.
Selain Vietnam, Malaysia juga mendapatkan arus masuk pendanaan yang besar, utamanya di sektor semikonduktor. Pengamat industri mengatakan bahwa keunggulan Malaysia terletak pada tenaga kerjanya yang terampil dalam pengemasan, perakitan dan pengujian chip, serta biaya operasional yang relatif lebih rendah.
"Malaysia telah menyaksikan kebangkitan dalam sektor semikonduktor yang sudah lama ada, menarik investasi baru dari perusahaan seperti Intel," kata Lim dari Monk's Hill Ventures.
Untuk Indonesia, pengamat mengatakan RI diuntungkan dengan memiliki sumber daya tembaga, nikel, kobalt, dan bauksit yang sangat besar. Hal ini penting bagi pembuatan mobil listrik.
Pemerintah Indonesia telah memikat perusahaan-perusahaan kendaraan listrik dengan insentif untuk mendirikan basis manufaktur lokal. Sejumlah perusahaan China seperti Neta, Wuling, Chery, BYD, dan Sokon telah berencana membuka pusat produksi di Indonesia.
"Indonesia, yang juga merupakan negara menarik lainnya, berharap dapat menjadi pusat kendaraan listrik yang terintegrasi. Ini mungkin masih dalam tahap awal, namun mereka berupaya meningkatkan kapasitas di seluruh rantai pasokan," tambah Kai Wei Ang.
Lebih lanjut, untuk Singapura, negara ini menyimpan keunggulan bagi perusahaan yang ingin mendirikan kantor pusat regional. Singapura dipandang sebagai basis yang stabil di tengah tantangan geopolitik.
"Singapura khususnya telah menjadi tujuan bagi para wirausahawan ini untuk bermarkas di bisnis global, namun tetap dapat, misalnya, mengumpulkan dana dari AS dan mempekerjakan insinyur di China," kata Yinglan Tan, mitra pengelola pendiri di Insignia Ventures Partners.
"Singapura, dengan statusnya sebagai pusat terpercaya di bidang infrastruktur keuangan dan regulasi, akan terus menarik perusahaan-perusahaan yang mencari basis di Asia di masa yang tidak menentu ini," timpal Lim dari Monk's Hill Ventures.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Malaysia Untung Gegara "Perang" AS-China, Kok Bisa?
