Ngeri Petaka Ancam Bumi di 2050, BMKG Pelototi Fenomena di Laut

Damiana, CNBC Indonesia
Kamis, 20/06/2024 17:30 WIB
Foto: Anomali suhu muka laut dasarian per 1 Juni 2024. (Dok. BMKG)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, peningkatan suhu global tidak dapat dianggap sepele. Sehingga, ujar dia, pengamatan sistem kebumian yang sistematis menghadapi perubahan iklim menjadi penting. Dalam hal ini, BMKG fokus melakukan pengamatan dinamika di laut.

Dia mengatakan, prediksi Food and Agriculture Organization (FAO) mengenai ancaman krisis pangan pada tahun 2050 mendatang merupakan hasil dari pengamatan kebumian yang sistematis secara global, nasional, dan lokal.

"Pengamatan sistematis memungkinkan seluruh negara di dunia untuk melakukan analisis dan prediksi lebih lanjut," kata Dwikorita dalam keterangan di situs resmi, Kamis (20/6/2024).


Dia menjelaskan, analisis masa lalu merupakan cara untuk memvalidasi dampak dari peningkatan suhu yang berlangsung dan kondisi bumi kekinian. Pada analisis lebih lanjut yang didasarkan pada data pengamatan sistematis dapat diketahui, ternyata perubahan iklim memberi tekanan pada sumber daya air yang sudah langka, menghasilkan hotspot air.

"Nah, hal ini dapat ditangkap dan dianalisis lagi berdasarkan pengamatan sistematis," ujarnya.

Dwikorita menuturkan, peningkatan suhu dapat memicu peningkatan frekuensi bencana hidrometeorologi, kekeringan, buruknya kualitas udara, kebakaran hutan dan lahan, gelombang panas, risiko kesehatan, penurunan kualitas hidup, hingga ancaman kelangsungan hidup spesies di bumi.

Pada akhirnya, ujar dia, kondisi itu akan mengganggu stabilitas perekonomian dan politik dunia.

Menurut Dwikorita, suhu permukaan bumi meningkat sangat cepat setiap tahunnya dan berdampak buruk pada kehidupan manusia dan seluruh makhluk hidup di bumi.

Mengutip data Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), paparnya, rata-rata peningkatan suhu permukaan global mencapai 1,45 derajat Celcius pada tahun 2023 dibandingkan dengan baseline setelah era Revolusi Industri. Padahal tahun 2020 lalu, kenaikan rata-rata suhu global adalah 1,2 derajat Celcius.

"Tahun 2023 tercatat sebagai tahun terpanas, dan informasi in ihanya dapat diperoleh melalui pengamatan sistematis untuk fenomena kebumian. Tanpa pengamatan kebumian yang sistematis, informasi yang diberikan bisa menyesatkan atau salah. Pengamatan kebumian yang sistematis ini diperlukan baik di tingkat nasional, regional, maupun global," kata Dwikorita.

Dia menjelaskan, pengamatan sistematis sangat dibutuhkan untuk berbagai keperluan. Diantaranya, untuk memberikan data dukung dalam aksi adaptasi iklim, aksi mitigasi iklim, atau keputusan atau kebijakan apa pun terkait mitigasi dan adaptasi iklim.

"Pengamatan sistematis tersebut harus juga diikuti oleh tindakan yang sistematis di segala lini agar dampak panas ekstrem tersebut dan dampak perubahan iklim lainnya dapat ditangani secara efektif," ujarnya.

Dia mencontohkan, informasi mengenai fenomena El Nino yang menyebabkan kenaikan panas laut yang meluas di Pasifik tropis bagian timur merupakan hasil pengamatan kebumian sistematis yang didukung juga oleh pemantauan satelit.

"Indonesia meningkatkan jaringan pengamatan kebumian baik di laut maupun darat. Hal tersebut juga diiringi dengan peningkatan kapasitas pemrosesan data dan peningkatan penyebaran informasi kepada publik dan sektor pengguna," ujarnya.

"Salah satu fokus pengamatan kami terhadap dampak perubahan iklim adalah laut. Hal ini karena kunci dari perubahan iklim adalah laut, yang juga berinteraksi dengan atmosfer. Ini adalah upaya kami untuk memperkuat kapasitas prakiraan, prediksi ataupun proyeksi," tambah Dwikorita.

Dia menekankan, berbicara soal dampak perubahan iklim, tidak bisa mengabaikan integrasi pengamatan laut dan atmosfer. Mulai dari pemrosesan data, analisis, prediksi, dan proyeksinya, hingga penyebarluasan hasil analisis/ informasi utk berbagai kepentingan layanan.

Dwikorita pun berharap The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) menjadikan pengamatan sistematis untuk fenomena kebumian sebagai dasar negosiasi dan pengambilan kebijakan.

Hal itu untuk mendukung negara-negara di dunia untuk mengambil tindakan sistematis untuk mengatasi perubahan iklim.

"Karena kebijakan yang dibuat tanpa mempertimbangkan pengamatan sistematis fenomena kebumian bisa menjadi sesuatu yang salah atau menyesatkan," pungkasnya.


(dce/dce)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Peringatan! Potensi Tsunami di 10 Wilayah RI Usai Gempa Rusia