Pengusaha Ingatkan Masalah Baru Muncul Efek Upah Minimum Murah

Martyasari Rizky, CNBC Indonesia
14 June 2024 14:45
Para buruh pabrik garmen berbelanja makan siang dari pedagang kaki lima di luar pabrik di kawasan Jakarta, Kamis (23/11/2023). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Para buruh pabrik garmen berbelanja makan siang dari pedagang kaki lima di luar pabrik di kawasan Jakarta, Kamis (23/11/2023). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri padat karya di provinsi Jawa Barat dikabarkan tengah menghadapi masalah pelik. Pasalnya kini persaingan upah minimum antar provinsi pun tak terelakkan lagi. Upah buruh dituding jadi sumber masalah, hingga "memaksa" sejumlah perusahaan di Jawa Barat memilih relokasi ke ke daerah dengan tingkat upah minimum atau biaya produksi lebih rendah.

Anggota Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Provinsi Jawa Barat (PPTPJB) Desi Sulastri mengatakan, relokasi pabrik sebetulnya bukan pilihan yang baik, namun juga tidak bisa dikatakan buruk. Sebab, katanya, ketika perusahaan memutuskan untuk relokasi ke daerah yang memiliki upah minimum lebih rendah, perusahaan itu juga memiliki pertaruhan yang besar dan sangat beresiko.

"Kalau kita bicara harga pokok produksi (HPP), dibandingkan Jawa Barat, provinsi Jawa Tengah upah mereka sangat jauh lebih murah. Maka Jawa Tengah menjadi pilihan para buyer saat ini. Dari awal ketika melakukan relokasi, berharap ini bisa berusaha dengan tenang, bisa membangun usaha dengan baik. Tapi sebenarnya ada masalah baru yang muncul," kata Desi kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (14/6/2024).

"Di Jawa Tengah, sekarang tenaga kerja sudah di tahap yang memang sulit untuk didapatkan. Nah apakah kemudian dengan pengembangan kesana pun akan menyelesaikan masalah para investor ini? kan nggak juga. Malah muncul masalah baru sebenarnya. Di sisi lain, kabupaten/kota atau provinsi yang ditinggalkan itu banyak sekali tenaga kerja yang tidak lagi bekerja, karena akibat adanya relokasi," tambah Desi.

Adapun isu relokasi pabrik ke Jawa Tengah ini, kata Desi, bermula ketika penetapan kenaikan upah minimum yang signifikan setiap tahunnya. Menurutnya, penetapan kenaikan upah seyogyanya diiringi dengan peningkatan produktivitas dan/atau penambahan order, tetapi dengan beralihnya penetapan upah minimum dengan Otonomi Daerah (Otoda), penetapan kenaikan upah dengan mempertimbangkan produktivitas kini tidak lagi menjadi perhitungan.

"Di mana kondisi saat ini, dengan berkembangnya masalah upah yang kenaikannya memang sudah memberatkan, ditambah lagi daya saing yang antar provinsi ini tidak kompetitif. Kalau kita bicara harga pokok produksi (HPP), dibandingkan Jawa Barat, provinsi Jawa Tengah upah mereka sangat jauh lebih murah. Maka Jawa Tengah menjadi pilihan para buyer saat ini," jelasnya.

Buyer, lanjutnya, memang akan mencari pabrik yang dapat memberikan kualitas sama, namun dengan harga lebih murah.

"Saya yakin para buyer tentu saja waktu menaruh order (ke Jawa Tengah), walau dengan HPP lebih rendah, pasti dituntut standar kualitas yang sama dengan yang ada di Kabupaten/Kota (seperti Jawa Barat) yang dianggap sudah mahal," ucap dia.

Untuk itu, Desi mewakili pengusaha produsen tekstil di Jawa Barat berharap pemerintah agar tidak menyamakan kondisi dari industri padat karya dengan industri padat modal. Sebab, industri padat karya dapat menyerap begitu banyak tenaga kerja. Sehingga, ketika upah minimum naik tinggi, industri ini jadi sektor paling terdampak.

"Kita berharap industri ini jangan disamakan dengan industri padat modal pada umumnya. Karena industri inilah yang sangat dengan kenaikan upah, bergeser Rp1.000 saja itu benar-benar berpengaruh, sebab jumlah karyawannya yang ada ribuan," pungkas Desi.


(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ngeri! Fenomena Tsunami Pabrik Tutup Mengintai Jawa Barat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular