Diam-Diam Pabrik Tekstil di Jawa Barat Bertumbangan, Ini Datanya

Martyasari Rizky, CNBC Indonesia
14 June 2024 12:30
Suasana kondisi ribuan alat mesin jahit yang ditutup kain dan tidakk terpakai di kawasan pabrik garmen, Kabupaten, Bogor, Kamis, (13/6/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Suasana kondisi ribuan alat mesin jahit yang ditutup kain dan tidakk terpakai di kawasan pabrik garmen, Kabupaten, Bogor, Kamis, (13/6/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Bogor, CNBC Indonesia - Fenomena maraknya pabrik tutup dalam beberapa waktu belakangan ini, membuat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pun tak terelakkan lagi. Ada belasan ribu buruh yang terpaksa harus kehilangan pekerjaannya. Tak terkecuali di daerah Jawa Barat.

Anggota Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Provinsi Jawa Barat (PPTPJB) Bidang Hukum Desi Sulastri mengungkapkan, berdasarkan data milik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) setidaknya ada 22 dari total 42 perusahaan industri padat karya di Jawa Barat yang terdaftar sebagai anggota Apindo tutup dan/atau melakukan relokasi ke daerah lain.

"Dari total 42 perusahaan (industri padat karya) yang bergabung sebagai anggota Apindo, sekarang itu hanya tinggal 20 saja, berkurang 50%. Padahal ini hanya sebagian kecil saja dari industri padat karya yang ada di Kabupaten Bogor. Karena total perusahaan yang ada di Kabupaten Bogor itu boleh dibilang mencapai 30 ribuan (perusahaan)," ungkap Desi kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (14/6/2024).

Adapun penyebab utama banyaknya pabrik tekstil dan produk tekstil (TPT) bertumbangan, menurut Desi, karena upah minimum yang naik signifikan setiap tahunnya. Sehingga pabrik yang nafasnya sudah tersengal-sengal akibat menurunnya order pasca pandemi Covid-19, terjadinya resesi hingga memanasnya tensi geopolitik, diperparah lagi dengan beban upah tinggi, maka perusahaan atau pabrik itu pun terpaksa berguguran.

"(Pada) tahun 2020 ada pandemi Covid-19, terus ada resesi global, perang dan lain sebagainya membuat tekanan terhadap industri, khususnya padat karya. Tapi penyebab utamanya itu dimulai dari penetapan upah yang bisa dibilang tidak sesuai dan tidak mempertimbangkan laju pertumbuhan ekonomi," terang dia.

Menurutnya, penetapan kenaikan upah seyogiyanya diiringi dengan peningkatan produktivitas dan/atau penambahan order, tetapi dengan beralihnya penetapan upah minimum dengan Otonomi Daerah (Otoda), penetapan kenaikan upah dengan mempertimbangkan produktivitas kini tidak lagi menjadi perhitungan.

"Itu (pertimbangan produktivitas) tidak lagi menjadi perhitungan, tapi lebih banyak muatan politisnya yang mendominasi. Dulu saat awal-awal penetapan upah minimum, bagaimana arah politikus ini menyampaikan akan memperjuangkan kesejahteraan buruh, sehingga mendapat dukungan suara yang maksimal. Nah pada akhirnya itu menjadi tuntutan juga dari pekerja, bagaimana mereka yang berada di legislatif maupun eksekutif untuk memenuhi apa yang sudah dijanjikan," ujarnya.

Lebih lanjut, Desi mewakili pengusaha produsen tekstil di Jawa Barat menyampaikan, pihaknya sangat berharap kepada pemerintah agar tidak menyamakan kondisi dari industri padat karya dengan industri padat modal. Sebab, katanya, kondisi dari kedua jenis industri tersebut sangat berbeda. Industri padat karya dapat menyerap begitu banyak tenaga kerja. Sehingga, ketika upah minimum naik tinggi, industri ini juga yang paling terdampak.

"Kita berharap industri ini jangan disamakan dengan industri padat modal pada umumnya. Karena industri inilah yang sangat terimbas dengan kenaikan upah, bergeser Rp1.000 saja itu benar-benar berpengaruh, sebab jumlah karyawannya yang ada ribuan," pungkasnya.


(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dilanda PHK Massal-Pabrik Berguguran, DPR Panggil Pengusaha Tekstil

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular