
Indofarma Terjerat Pinjol, Begini Tanggapan Asosiasi Fintech Lending

Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) merespons terkait ramainya kasus perusahaan BUMN, PT Indofarma Tbk yang bermasalah karena terjerat kasus pinjaman online. Kasus itu terungkap dari laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Sebelumnya saya mau mengklarifikasi, industri kami adalah fintech lending, bukan pinjol. Pinjol identik dengan hal negatif dan ilegal," kata Marketing Communication AFPI Andri Tau, kepada CNBC Indonesia, Minggu (9/6/2024).
Menurutnya terkait posisi fintech lending adalah penyedia pembiayaan alternatif yang dapat dimanfaatkan baik personal, UMKM, maupun perusahaan. Meski sampai saat ini pihaknya belum mendapatkan data terkait pinjaman aktif dari entitas perusahaan Indofarma.
"Selanjutnya dari AFPI, sejauh ini tidak ada data pinjaman aktif dari peminjam dari entitas perusahaan Indofarma dan anak perusahaan yang diinfokan pada pemberitaan di industri fintech lending," kata Andri.
Selain itu pihaknya juga mengaku senang jika ada Fintech Lending yang telah dimanfaatkan baik secara personal maupun BUMN dalam membantu kebutuhan pendanaan modal kerja dan lainnya. Namun, ia merasa dirugikan jika ada pernyataan yang mengaitkan pinjol dengan Fintech Lending.
"Kami adalah industri yang sudah diatur dan diakui oleh Undang-Undang (P2LK)," terangnya.
"Kami merasa dirugikan dengan framing pemberitaan media yang menyamakan kami dengan pinjol," sambungnya.
Terkait kasus itu, Andri juga sudah melakukan pemeriksaan dari laporan yang diberikan oleh BPK, bahwa tidak ada spesifik apa pinjaman online yang dilakukan oleh Indofarma.
"Jadi dari dokumen sumber tidak ada rincian mengenai Pinjol yang bersangkutan," katanya.
Sebelumnya dari Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2023 yang dilaporkan BPK ke DPR, Kamis (6/6/2024), tercatat Indofarma dan anak usahanya PT IGM melakukan berbagai aktivitas berindikasi fraud atau kerugian.
Ada sejumlah aktivitas yang menyebabkan Indofarma merugi, antara lain melakukan transaksi jual-beli fiktif, menempatkan dana deposito atas nama pribadi pada Koperasi Simpan Pinjam Nusantara, melakukan kerja sama pengadaan alat kesehatan tanpa studi kelayakan dan penjualan tanpa analisa kemampuan keuangan customer, hingga melakukan pinjaman online alias pinjol.
Permasalahan tersebut mengakibatkan indikasi kerugian sebesar Rp 294,77 miliar dan potensi kerugian sebesar Rp 164,83 miliar, yang terdiri dari piutang macet sebesar Rp 122,93 miliar, persediaan yang tidak dapat terjual sebesar Rp 23,64 miliar, dan beban pajak dari penjualan fiktif FMCG sebesar Rp 18,26 miliar.
Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada direksi Indofarma agar melaporkan ke pemegang saham atas pengadaan dan penjualan alat kesehatan teleCTG, masker, PCR, rapid test (panbio), dan isolation transportation yang mengakibatkan indikasi kerugian sebesar Rp 16,35 miliar dan potensi kerugian sebesar Rp 146,57 miliar.
Indofarma juga diminta berkoordinasi dengan pemegang saham dan Kementerian BUMN untuk melaporkan permasalahan perusahaan dan anak perusahaan kepada aparat penegak hukum, dan mengupayakan penagihan piutang macet senilai Rp 122,93 miliar.
Indofarma memang terlihat sedang mengalami masalah keuangan. Pada April kemarin, Indofarma bahkan menunggak pembayaran gaji para karyawan untuk periode Maret 2024. Hal itu disebabkan oleh adanya putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Perusahaan menyatakan, meskipun tidak berdampak secara langsung pada operasional perseroan, akan tetapi perusahaan harus berkoordinasi dengan tim pengurus yang ditunjuk pengadilan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Berita bahwa Perseroan belum membayarkan upah terhadap karyawan untuk periode Maret 2024 adalah benar," kata Corporate Secretary Indofarma, Warjoko Sumedi seperti dikutip dari keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI).
Pada 20 Mei 2024, BPK RI telah menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Investigatif mengenai Pengelolaan Keuangan Perseroan, Anak Perusahaan, dan Instansi Terkait Lainnya untuk periode 2020 hingga 2023 kepada Jaksa Agung di Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
"Upaya hukum yang ditempuh Perseroan adalah sesuai dengan Rekomendasi LHP BPK RI, baik untuk yang terkait perdata maupun pidananya dengan tetap mengacu pada ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku," ungkap Yuliandriani pada keterbukaan informasi BEI, pada Jumat, (31/5/2024).
Sebelumnya, Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2023 kepada lembaga perwakilan DPR RI hari ini (4/6). IHPS II Tahun 2023 juga mengungkapkan hasil pemantauan atas pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi BPK dari 2005 hingga 2023 telah sesuai rekomendasi sebesar 78,2%.
"Dari tindak lanjut tersebut, BPK telah melakukan penyelamatan uang dan aset negara berupa penyerahan aset dan atau penyetoran uang ke kas negara/daerah/perusahaan atas hasil pemeriksaan tahun 2005 hingga 2023 senilai Rp136,88 triliun," ungkap Ketua BPK, Isma Yatun, dalam kegiatan penyampaian IHPS II Tahun 2023 yang berlangsung dalam Sidang Paripurna DPR di Jakarta.
IHPS II Tahun 2023 memuat ringkasan dari 651 laporan hasil pemeriksaan (LHP), yang terdiri atas 1 LHP Keuangan, 288 LHP Kinerja, dan 362 LHP Dengan Tujuan Tertentu (DTT). IHPS ini juga memuat hasil pemeriksaan tematik atas dua prioritas nasional (PN), yaitu pengembangan wilayah serta revolusi mental dan pembangunan kebudayaan.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article BPK Serahkan Hasil Investigasi LPEI & Kemenpora ke Kejagung