Parah! Diduga Sudah 100.000-an Pekerja Pabrik RI Jadi Korban PHK 2024
Jakarta, CNBC Indonesia - Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di dalam negeri, terutama di sektor manufaktur-padat karya ternyata masih terus berlanjut. Jumlahnya diprediksi mencapai 50 ribu bahkan 100-an ribu pekerja yang jadi korban PHK sejak awal tahun 2024 ini.
Tak sekadar efisiensi jumlah tenaga kerja. Gelombang PHK itu juga sebagai dampak penutupan pabrik oleh perusahaan. Penyebabnya? Karena tak lagi sanggup bertahan, tak bisa bersaing memanfaatkan pasar domestik di tengah konsumsi yang masih terus menggeliat.
Hal itu disampaikan oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi. Dia mengatakan, PHK yang terjadi saat ini berpotensi akan terus berlanjut jika pemerintah tak segera turun tangan. Terutama di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) termasuk garmen, juga alas kaki (sepatu), yang merupakan sektor padat karya.
"PHK masih terus berlanjut, pabrik bertumbangan. Pada periode Januari-Mei 2024, total ada 10.800 orang pekerja jadi korban PHK. Ada yang pabrik tutup, ada efisiensi. Ini hanya data pekerja anggota KSPN. Serikat pekerja lain juga melaporkan kondisi serupa," katanya kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (6/6/2024).
"PHK yang terjadi itu dilakukan bertahap. Untuk efisiensi. Lalu tak bisa bertahap, cashflow terganggu, kemudian terus dipangkas sampai akhirnya pabrik tutup. Ada yang langsung dipangkas, ada juga karena negosiasi minta pekerjanya mengundurkan diri," tambah Ristadi.
Karena itulah, ungkap dia, banyak pabrik yang memutuskan memangkas tenaga kerjanya dan tak ketahuan publik.
"Makanya banyak sebenarnya yang sudah PHK tapi nggak ada yang tahu. Karena itu tadi, manajemen tak lapor ke Dinas Ketenagakerjaan setempat. Karena sudah ada kesepakatan antara pekerja dengan manajemen, atau karena tidak ada selisih soal pesangon," sebutnya.
"Kebanyakan yang melapor itu karena masalah pesangon," imbuh dia.
Korban PHK Tembus 100.000
Modus lain, lanjut Ristadi, PHK yang terjadi dilakukan secara berkala.
"PHK-nya dicicil. Sedikit demi sedikit, 10, 10. Begitu. Tapi mereka juga nggak merekrut lagi, posisi itu dibiarkan kosong. Pelan-pelan, PHK makin banyak," ucapnya.
"Seperti PT Kusuma Group yang memiliki 3 perusahaan. Tadinya tenaga kerjanya banyak, sekitar 3.500-an orang. Lalu PHK bertahap, pelan-pelan. Mereka mencoba bertahan, lakukan inovasi dengan memproduksi produk sendiri, dijual di dalam negeri. Tapi ternyata tak sanggup. Hingga kemarin, 24 Mei 2024, akhirnya memutuskan menutup pabriknya, tiga-tiganya, ada sekitar 1.600-an pekerja kena PHK," papar Ristadi.
Contoh lain, kata dia, PT Sai Apparel di kota Semarang.
"Sai Apparel itu sebenarnya sudah melakukan PHK bertahap. Hingga akhirnya tahun ini memutuskan tutup, dan PHK 8.000-an pekerja," ujarnya.
"Jadi, kalau ditotal, PHK sejak awal tahun itu bisa sudah mencapai 50-an ribu atau bahkan bisa tembus 100.000. Bukan cuma di pabrik tekstil-garmen ya, ada juga pabrik sepatu dan pabrik lainnya. Banyak pabrik yang bergelimpangan," kata Ristadi.
Dia pun menuturkan fakta yang ditemukannya di lapangan saat dipanggil mendampingi negosiasi pesangon bagi pekerja anggota KSPN yang jadi korban PHK.
"Saya pernah ke satu perusahaan, untuk negosiasi pesangon bagi anggota yang kena PHK. Di perusahaan itu anggota kami yang kena PHK hanya 2-4 orang. Tapi ternyata, begitu di sana ketahuan, ternyata ada 7-8 perusahaan yang juga melakukan PHK tapi tak dilaporkan. Kami terjun ke pabrik di sekitar, PHK itu memang terjadi bertahap. Namun karena mereka bukan anggota KSPN, kami tak bisa tahu jumlahnya," paparnya.
Selain itu, Ristadi menambahkan, perusahaan juga kadang ragu atau takut untuk melaporkan atau mengaku telah melakukan PHK.
"Sebab ini akan berdampak pada trust dari pihak perbankan dan buyer. Ke saya juga sering ada yang protes, bahkan somasi, karena mengungkapkan perusahaan mereka telah melakukan PHK," tuturnya.
"Tapi kalau tidak diungkapkan, nanti pemerintah leha-leha jadinya. Nanti dianggap PHK massal itu isapan jempol belaka atau karangan kami saja. Dikira tak ada masalah di industri tekstil, kondisinya baik-baik saja, nggak tahunya pekerja sudah banyak jadi korban PHK," tukas Ristadi.
Padahal, cetusnya, PHK ini akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat yang kemudian akan memengaruhi ekonomi RI. Karena itu, pemerintah harus segera turun tangan dan melakukan strategi agar bisa membantu industri manufaktur tak lagi merana. Salah satunya, kata Ristadi, melindungi pasar domestik agar tak makin tertekan akibat serbuan barang impor murah, terutama dari China.
(dce/dce)