Kompak! Bos BI-Sri Mulyani Bilang Ekonomi Tidak Pasti hingga 2025
Jakarta, CNBC Indonesia - Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati satu suara menyatakan bahwa kondisi perekonomian global masih penuh ketidakpastian hingga 2025. Kondisi itu berpotensi memengaruhi tekanan terhadap ekonomi dalam negeri.
"Kondisi ekonomi global yang serba tidak menentu banyak dinamika, dan tentu saja tantangan-tantangannya ini akan berdampak kepada ekonomi Indonesia tahun ini dan juga tahun ke depan," kata Perry saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Gedung Parlemen, Jakarta, dikutip Kamis (5/6/2024).
Perry menyebutkan, setidaknya ada lima masalah perekonomian global yang akan berdampak pada ekonomi domestik. Pertama adalah terkait melemahnya potensi pertumbuhan ekonomi negara-negara maju. Dia menilai, potensi pertumbuhan ekonomi global pada tahun depan tidak hanya stagnan namun cenderung melemah.
Dia mencontohkan, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat hanya akan tumbuh 2,5% pada 2024 dan menurun menjadi 1,9% pada 2025. China juga sama dari 4,7% pada tahun ini potensi pertumbuhannya menjadi semakin lemah pada 2025 menjadi hanya sebesar 4,1%.
"Tadi Bu Menteri Keuangan menyebutkan stagnan, tapi tidak hanya stagnan, negara-negara mitra dagang utama kita pertumbuhan ekonominya juga melambat," tegas Perry.
"Jadi harapan 6,6% hanya dari India. Intinya kondisi pertumbuhan ekonomi global ini tentu akan berpengaruh ke sumber-sumber ekspor yang perlu kerja keras supaya bisa jadi pendukung pertumbuhan," tuturnya.
Risiko kedua, dia sebutkan terkait dengan harga komoditas yang juga akan berdampak ke tekanan inflasi global. Dia mengatakan, tekanan harga komoditas ini akan menyebabkan tekanan inflasi turunnya lambat berdampak juga terhadap tekanan inflasi di dalam negeri, khususnya terkait dengan harga pangan maupun energi.
Risiko ketiga terkait dengan potensi suku bunga AS Fed Fund Rate yang dia perkiraan baru turun akhir tahun ini sekitar 25 basis points (bps) dan sekitar 50 bps pada semester I tahun depan.
"Jadi kemungkinan Fed Fund Rate tahun depan berkisar 4,5%-4,75% dan ini berdampak juga suku bunga yield surat utang pemerintah AS yang tinggi di samping utang pemerintahnya yang besar, ini akan berdampak ke financing APBN kita," ucap Perry.
Adapun risiko keempat ialah terkait nilai tukar dolar yang masih akan menguat dan berdampak ke tekanan-tekanan dari nilai tukar mata uang seluruh dunia termasuk rupiah. Sedangkan yang terakhir atau risiko kelima adalah risiko-risiko konflik geopolitik yang berdampak pada tekanan arus modal.
Sementara itu, Sri Mulyani mengatakan, ada enam tantangan besar yang harus dihadapi dunia ke depan, yakni suku bunga tinggi, restriksi perdagangan yang semakin ketat, volatilitas harga komoditas, ketegangan geopolitik, mulai menuanya populasi dunia, hingga buruknya dampak perubahan iklim.
"Kita lihat geopolitik yang sebabkan perubahan besar dan bahkan membuat tatanan ekonomi baru, no body knows. Restriksi perdagangan baru yang muncul pada 2021 melonjak. Pada 2023 ada 3000 trade restriction diberlakukan dan nilainya enggak kaleng-kaleng," ujar Sri Mulyani.
Tantangan ini ada yang bersifat ekonomi, seperti inflasi. Lonjakan inflasi di beberapa negara khususnya negara maju direspons dengan kenaikan suku bunga acuan. Kini posisinya suku bunga acuan berada di level yang tinggi dalam waktu yang lama karena inflasi tak kunjung reda.
"Implikasi dari kebijakan di negara-negara maju untuk respons inflasi tinggi likuiditas ketat dan suku bunga meningkat sebabkan tekanan capital outflow dan menimbulkan biaya utang atau cost of borrowing yang meningkat ini dialami semua negara baik di mana mereka menaikkan suku bunga seperti di AS dan Eropa maupun spillover dunia," jelasnya
(haa/haa)