Pak Prabowo! Penyakit Kronis Ekonomi RI Dibongkar Lembaga Asing
Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga pemeringkat Standard and Poor's (S&P) mengungkapkan setumpuk pekerjaan rumah yang harus diselesaikan presiden terpilih Prabowo Subianto, untuk menuntaskan berbagai penyakit kronis atau masalah struktural yang ada di dalam ekonomi Indonesia kini.
Country Lead Corporate Ratings Southeast Asia S&P Global Ratings, Xavier Jean mengatakan penyakit pertama ialah tak adanya benefit atau keuntungan yang dinikmati korporasi dari laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang terjaga di kisaran 5% selama 15 tahun terakhir.
"Hal yang kami amati di sektor korporasi Indonesia selama 15 tahun terakhir perusahaan semakin sedikit menerima manfaat dari pertumbuhan PDB. Jadi semakin sulit bagi mereka untuk meningkatkan pendapatan dan meningkatkan laba," kata Xavier dalam program Power Lunch CNBC Indonesia, dikutip Kamis (15/05/2024)
Ia mengatakan, perusahaan-perusahaan di Indonesia semakin tidak bisa menikmat keuntungan dari penambahan PDB karena jumlah perusahaan yang beroperasi untuk suatu sektor bisnis tertentu terlalu banyak dan minim inovasi bisnis, menyebabkan kue ekonomi dari populasi 275,5 juta hanya termakan sedikit oleh masing-masing perusahaan.
Xavier mencontohkan perusahaan itu di antaranya ialah di sektor ojek daring dan e-commerce. Meski kedua perusahaan teknologi digital, namun tidak ada inovasi bisnis yang memunculkan keunggulan komparatif dari masing-masing perusahaan. Sebab model bisnis sama, persaingan hanya pada perang diskon, dan objek konsumen itu-itu saja yang daya belinya terbatas dan kini cenderung merosot tergerus inflasi bahan pangan.
"Sangat sulit bagi mereka karena semakin banyak perusahaan yang mengejar pelanggan yang sama. Artinya, mereka harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk biaya iklan untuk mendapatkan perhatian pelanggan yang sama, mereka harus melakukan lebih banyak diskon," ucap Xavier.
Oleh sebab itu, masalah ini menurutnya akan menyebabkan laba yang diperoleh minim untuk masing-masing perusahaan. Bak lingkaran setan, ujungnya ialah standar gaji yang rendah selalu muncul di Indonesia, menyebabkan daya beli masyarakat terbatas, dan bahkan terus menerus tergerus inflasi meski stabil di kisaran target pemerintah 3%, mengakibatkan konsumsi untuk produk perusahaan juga terbatas.
"Jadi ini masih akan menjadi tantangan besar bagi mereka, karena sekarang mereka harus menemukan kembali cara mereka beroperasi, menemukan kembali cara mereka meningkatkan margin, menemukan kembali pelanggan mereka, dan menemukan kembali model bisnis mereka untuk memperhitungkan jumlah pelanggan yang lebih tinggi," ucapnya.
Penyakit kedua, Xavier melanjutkan, ialah tingginya suku bunga pembiayaan di Indonesia. Kondisi ini membuat beban utang perusahaan di Indonesia sangat tinggi dan kecenderungan untuk ekspansi bisnis, baik untuk melakukan inovasi produk ataupun menaikkan produksi terbatas.
Berdasarkan catatan Bank Indonesia (BI) suku bunga kredit pada Maret 2024 telah di level 9,25%, turun tipis dibanding catatan per Februari 2024 yang sebesar 9,28%. Rata-rata suku bunga dasar kredit korporasi OJK di level 8,51% per Februari naik dari Januari 2024 sebesar 8,48%. Jauh lebih tinggi dari suku bunga acuan BI Rate yang telah naik ke level 6,25%.
"Bank-bank di Indonesia memiliki permodalan yang sangat baik. Jadi mereka punya banyak penyangga modal, dan mereka juga sangat untung. Karena mereka mengenakan bunga yang besar, dan biaya depositnya tidak terlalu tinggi," ucap Xavier.
Xavier juga menambahkan bahwa bank di Indonesia terbilang sangat selektif menyalurkan kredit, terutama bank-bank besar untuk menjaga margin keuntungan mereka. Tercermin dari rasio return on asset (ROA) dan net interest margin (NIM) tinggi. Per Maret 2024, ROA dan NIM bank meningkat masing-masing menjadi 2,62% dan 4,59% dari Februari 2024 sebesar 2,52% dan 4,49%.
"Jadi apa yang kita lihat saat ini adalah di pasar bank domestik, dana tersedia untuk dipinjamkan. Tapi bank sangat selektif sehingga hanya menyalurkan kepada perusahaan terbesar, BUMN terbesar, perusahaan yang lebih menguntungkan dan seterusnya," tegas Xavier
Terakhir ialah permasalahan terlalu bergantungnya pasar keuangan di Indonesia terhadap dolar AS. Maka, ia menekankan tak heran ketika dolar menguat beberapa hari terakhir, rupiah berfluktuasi menyebabkan pelemahan mendalam beberapa hari terakhir. Pelemahan rupiah tentu memengaruhi neraca keuangan perusahaan yang memiliki utang valas besar dan biaya produksi yang tinggi akibat mayoritas berasal dari impor.
"Ini karena pemerintah meminjam dalam dolar AS, banyak perusahaan meminjam dalam dolar AS dan seterusnya. Jadi, pasar keuangan di Indonesia belum terlalu mendalam," ucap Xavier.
Oleh sebab itu, ia menganggap pendalaman pasar uang menjadi penting bagi pemerintah ke depan guna mengurangi ketergantungan terhadap dolar. Melalui cara ini ia menganggap akan ada banyak masalah yang bisa diselesaikan.
"Dan memperdalamnya akan memecahkan banyak masalah mengenai volatilitas mata uang, biaya pendanaan, dan akses pendanaan untuk membuat beberapa perusahaan kecil menjadi mudah mengakses. Dan pencapaian hal tersebut akan memberikan manfaat besar bagi sektor korporasi di Indonesia," tuturnya.
Xavier menekankan, pendalaman pasar uang juga menjadi penting karena tren suku bunga acuan ke depan akan sulit kembali ke titik longgar dengan suku bunga acuan bank sentral AS atau Fed Fund Rate kembali ke titik 0% dari yang saat ini di kisaran 5,25%-5,50%.
"Kalau melihat 25 tahun terakhir, rata-rata tren suku bunga sebenarnya berkisar 3%-3,5%. Jadi fakta bahwa Fed Fund Rate berada di titik nol untuk jangka waktu yang lama adalah hal yang aneh," ucap Xavier.
"Sekarang yang jadi masalah adalah perusahaan terbiasa dengan biaya pendanaan yang sangat rendah. Dan ini agak berbahaya bagi mereka karena Anda tidak diberi insentif untuk meningkatkan operasionalnya. Anda tidak diberi insentif untuk memikirkan kembali model bisnis Anda karena biaya pendanaan Anda sangat kecil dan margin Anda sangat dapat diprediksi," tegasnya.
(haa/haa)