ADB Annual Meeting

Menteri Sri Lanka & Pakistan Curhat Beratnya Hidup di Jurang Krisis

Maikel Jefriando, CNBC Indonesia
06 May 2024 08:10
Para pengunjuk rasa berpartisipasi dalam protes anti-pemerintah di tengah krisis ekonomi di Kolombo Pada 02 November 2022. (Photo by ISHARA S. KODIKARA/AFP via Getty Images)
Foto: Para pengunjuk rasa berpartisipasi dalam protes anti-pemerintah di tengah krisis ekonomi di Kolombo Pada 02 November 2022. (Photo by ISHARA S. KODIKARA/AFP via Getty Images)

Tbilisi, CNBC Indonesia - Sri Lanka dan Pakistan adalah dua negara dengan kondisi yang buruk dalam dua tahun terakhir akibat empat krisis datang sekaligus, yaitu perubahan iklim, konflik, kerawanan pangan dan peningkatan utang yang semakin besar.

Menteri Keuangan Sri Lanka, Shehan Semasinghe, menceritakan sulitnya situasi tersebut. Pada 2022, ekonomi Sri Lanka -7,3% dan 2023 membaik jadi -2,3%.

"Sri Lanka dalam proses pemulihan ekonomi negaranya serta dalam proses stabilisasi ekonomi dan karena telah menjadi kekuatan besar bagi kami sepanjang fase tersulit di tahun 2022," ungkap Semasinghe dalam Pertemuan Tahunan Asian Development Bank (ADB) ke-57 di Tbilisi, Georgia, Minggu (5/5/2024).

"Secara berturut-turut guncangan dan beberapa kesalahan langkah kebijakan memperburuk kondisi makroekonomi, sehingga mengakibatkan dampak besar

kesulitan di semua sektor ekonomi dan masyarakat secara keseluruhan," jelasnya.

Semasinghe menyatakan, pihaknya telah melakukan perbaikan besar-besaran pada 2 tahun terakhir meski berat bangkit dari krisis.

"Kami menandatangani perpanjangan fasilitas dana selama 4 tahun dengan Dana Moneter Internasional pada tahun 2017 Maret 2023 yang mendukung program reformasi kami, serta program reformasi yang didukung oleh ADB dan Bank Dunia," paparnya.

ADB memperkirakan ekonomi Sri Lanka mampu tumbuh positif pada tahun ini sebesar 1,9% dan 2,5% pada 2025. Inflasi diperkirakan turun ke level 7,5% dan 5,5% di 2025 dari sebelumnya 46,4% pada 2022 dan 17,4% pada 2023.

"Membaiknya kondisi makroekonomi terlihat dari membaiknya kondisi fiskal, pemulihan

cadangan devisa, peningkatan neraca eksternal seperti yang terlihat pada transaksi berjalan surplus dan apresiasi mata uang, dan penurunan cepat inflasi ke tingkat satu digit," terangnya.

Situasi serupa juga dialami Pakistan. Ekonominya jatuh ke -0,2% karena sederet persoalan. Inflasi Pakistan menapai 29,2% pada 2023. Lonjakan utang luar negeri dalam setahun dari 14,98 triliun rupee menjadi 20,69 triliun rupee pada 2023. Mata uang juga jatuh sangat dalam.

Menteri Ekonomi Pakistan, Ahad Khan Cheema menuturkan, kini situasi negaranya sudah mulai membaik. Akan tetapi tantangan perubahan iklim membuat Pakistan semakin khawatir.

"Dampak krisis iklim semakin menambah tantangan perekonomian Pakistan; memperburuk kerawanan air dan pangan, serta meningkatkan kemiskinan. Tidak ada satu negara pun yang dapat melawan ancaman yang semakin besar ini sendirian, terutama negara-negara yang rentan perekonomian," ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Cheema berharap ADB dapat memberikan bantuan pendanaan, sehingga negara-negara berkembang dan miskin tidak terjerat utang.

"ADB dalam peran barunya sebagai bank iklim mempunyai peran penting dalam hal ini.

Pemerintahan yang baru terpilih di Pakistan, di antara banyak tantangan lainnya, juga mengalami hal yang sama mewarisi pekerjaan rekonstruksi dan rehabilitasi yang sangat besar dan intensif setelah bencana banjir pada tahun 2022," terangnya.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Pakistan Memanas, Warga Demo Penundaan Hasil Pemilu

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular