
Siap-Siap! Prabowo Bakal Kena Limpahan PR 'Besar' Ini di Era Jokowi

Jakarta, CNBC Indonesia - Pesta akbar lima tahunan untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024 akhirnya selesai. Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Ketua Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo menilai pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, semestinya terletak pada visi, misi dan program yang tertuang dan dijanjikan selama kampanye Prabowo Subianto & Gibran Rakabuming Raka.
Adapun, di dalam visi, misi dan program Prabowo-Gibran telah dijanjikan kepada pemilih yaitu terwujudnya swasembada pangan, energi dan air. Bahkan Prabowo-Gibran dalam visi dan misinya berjanji akan mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil sekaligus menjadikan Indonesia sebagai raja energi hijau dunia dalam bidang energi baru dan terbarukan.
Namun, Singgih menilai, kemungkinan visi misi tersebut bisa saja berbeda di saat Prabowo-Gibran dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Mengingat, masalah energi bukan masalah yang mudah dan diperlukan pendanaan dan teknologi, sekaligus pasar yang terbangun di dalam negeri.
Menurut dia, dari trilema energi bisa jadi kebijakan yang telah tertuang dalam visi, misi dan program di saat kampanye harus diperhitungkan kembali atas alasan keamanan pasokan (energi security), ekuitas energi (energi equity), daya beli (affordability) dan keberlanjutan lingkungan (environmental sustainability).
"Masalah minyak bumi, batu bara, geothermal tidak akan dapat dipecahkan pada pintu jawaban yang sama. Masalah energi menjadi mudah disampaikan di saat kampanye, namun harus diakui semua solusi untuk mencapai swasembada energi bisa jadi baru dapat terwujud di saat periode Pemerintahan Prabowo-Gibran berakhir," kata Singgih kepada CNBC Indonesia, Senin (29/4/2024).
Di sektor migas misalnya, lifting minyak bumi yang di atas kertas terus akan didorong mencapai 755 ribu barrel per hari (bph). Sementara, di dalam laporan lifting sampai 15 April hanya sebatas 576 bph atau 90 persen dari target lifting 2024.
"Apakah lantas selama periode lima tahun pemerintahan Prabowo, Indonesia akan mampu melakukan swasembada minyak, tentu bukan hal yang mudah. Belum lagi kebutuhan impor minyak yang justru diperkirakan akan naik, dan ini mendorong ketergantungan impor dari berbagai kilang di luar negeri," katanya.
Ditambah lagi masalah pertambangan terkait energi seperti batu bara. Singgih memandang langkah pemerintah memperbesar produksi batubara harus diperkuat dengan kebijakan penugasan untuk kepentingan kebutuhan Domestik Market Obligation (DMO).
"Berbicara trilema energi, khususnya sisi ketersediaan, akses dan daya beli, tentu pemanfaatan batubara masih mampu menopang kebutuhan energi nasional. Arah menuju raja energi hijau yang didengungkan Prabowo-Gibran selama kampanye, harus diletakan pada konteks menjaga bauran energi nasional dan bukan sebatas menghapus PLTU Batubara tanpa mempertimbangkan kondisi riil energi di Indonesia," ujarnya.
Demikian juga langkah memperkuat batu bara untuk tujuan substitusi impor LPG melalui gasifikasi perlu dievaluasi ulang. Pasalnya, berdasarkan realitas yang ada, pemegang IUPK yang semestinya mendapatkan mandatori memproduksi Dimethyl-Ether (DME), seperti jalan di tempat pada tahap feasibility study.
Singgih mengatakan pilihan teknologi dan pembiayaan menjadi hambatan yang tidak mudah dipecahkan. Karena itu, masalah ini harus dapat dievaluasi, mengingat telah tertuang dalam amanah Undang-Undang Minerba dan telah menjadi mandatori IUPK.
"Harus ditemukan langkah terbaik agar mandatori yang telah tertuang dalam amanah UU Minerba, bukan justru akan memberikan masalah hukum ke depan bagi berbagai pihak, baik investor pertambangan maupun Pemerintah sendiri," tambahnya.
Oleh sebab itu, dengan berbagai macam persoalan yang ada, ia mengusulkan agar pemerintah membagi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjadi dua Kementerian. Kementerian ESDM diusulkan dipecah menjadi Kementerian Energi dan Petrokimia dan Kementerian Pertambangan.
"Saya mengusulkan agar Pemerintahan Prabowo bukan meletakkan masalah pertambangan dan energi dalam satu ruang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), namun sebaiknya dipisahkan menjadi dua, yaitu Kementerian Energi dan Petrokimia dan Kementerian Pertambangan," kata Singgih.
Sementara, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengungkapkan setidaknya terdapat beberapa pekerjaan rumah yang perlu dituntaskan oleh Presiden Prabowo dalam 5 tahun mendatang. Pertama, mengurangi ketergantungan impor energi khususnya minyak dan LPG, dan secara bertahap menurunkan laju permintaan BBM.
Kedua, mereformasi dan mengendalikan subsidi energi fossil, antara lain subsidi BBM, LPG, subsidi listrik, dan subsidi batubara dalam bentuk kebijakan harga DMO. "Kebijakan harga DMO batubara menciptakan distorsi bagi pengembangan energi terbarukan, dan menghambat ambisi Indonesia untuk melakukan transisi energi," kata dia.
Ketiga, menjaga rencana untuk mengakselerasi transisi energi, di sektor kelistrikan melalui mendorong pertumbuhan energi terbarukan sehingga baurannya bisa mencapai 40% di 2030, peningkatan efisiensi energi, dibarengi dengan phase-down PLTU di 2030.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article PR Untuk Prabowo di Sektor Tambang Jika Jadi Presiden, Berani?
