Ini Sederet Persoalan Hulu Migas yang Jadi PR Prabowo - Gibran
Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas), Moshe Rizal mengungkapkan ada beberapa pekerjaan rumah di industri hulu migas yang perlu diselesaikan Presiden selanjutnya. Terutama setelah KPU menetapkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Moshe mengatakan pekerjaan rumah utama yang perlu dilakukan pemerintahan Prabowo yakni menggairahkan iklim investasi hulu migas di Indonesia. Sebab,RI mempunyai target produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari (bph) dan gas sebesar 12 miliar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030 mendatang.
"Untuk capai itu macam-macam, iklim investasi harus digalakkan harus lebih ramah investor. Nasionalis itu harus dipatahkan karena kita butuh investor dari luar dan Pertamina perlu diperkuat," ujar Moshe kepada CNBC Indonesia, Jumat (22/3/2024).
Moshe berharap, ke depan pemerintahan Prabowo tidak hanya fokus terhadap satu sumber energi saja. Ia pun khawatir dengan program bioenergi yang selalu digaungkan, akhirnya industri hulu migas tak lagi menjadi prioritas.
Sementara, untuk menggenjot ketahanan energi, peran dari hulu migas sendiri tak bisa dilepaskan. Apalagi kebutuhan akan sumber energi dari tahun ke tahun terus mengalami pertumbuhan.
"Harusnya ketahanan energi gak cuma EBT, energi fosil masih harus tetap kita genjot karena kebutuhan energi naik terus. Mau bagaimanapun juga push ke EBT tapi kebutuhan energi makin lama makin meningkat," kata Moshe.
Sebagaimana diketahui, dalam visi-misi Prabowo, secara gamblang dikatakan bahwa bioenergi akan menjadi salah satu program unggulannya. Bahkan, Prabowo berjanji akan membawa Indonesia swasembada energi apabila terpilih menjadi Presiden.
Sebelumnya, Akademisi Ekonomi Energi dari Universitas Pertamina Rinto Pudyantoro berharap agar pemerintahan selanjutnya dapat menggairahkan iklim investasi hulu migas RI.
Menurut Rinto kalaupun hal tersebut sulit untuk dilakukan, paling tidak pemerintahan baru jangan membuat keributan hingga lima tahun ke depan. Keributan yang dimaksud misalnya dengan menerapkan sistem Kontrak Bagi Hasil (Production Cost Sharing/PSC) baru seperti model Gross Split.
"Usul saya satu pemerintahan baru jangan bikin keributan. Sehingga membuat investor berpikir ulang. Kalau sudah ribut semuanya berhenti semua. Minimal relaksasi lah jangan macam-macam, jangan bikin PSC gross split baru lagi," kata dia.
Rinto menilai sah-sah saja sebetulnya bagi pemerintahan baru dalam membuat kebijakan terkait sektor hulu migas RI, asalkan itu berdampak positif. Namun apabila sebaliknya, ia menyarankan agar waktu lima tahun dikerjakan untuk memperbaiki persoalan yang ada di industri migas.
"Misalnya perijinan kok susah sekali, komersialisasi butuh waktu panjang kenapa kok di Petronas di Malaysia 2-3 tahun selesai, kalau di sini 7 tahun. Itu dulu dikerjain sementara jangan bikin ribut," katanya.
Semula, Rinto mengungkapkan bahwa sektor hulu migas RI sempat mengalami kejayaan di tahun 1971 'an. Pada periode tersebut, pengusahaan hulu migas yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 mempunyai penerapan sistem kontrak yang cukup menarik bagi para investor.
Misalnya, pemberlakuan lex specialis pada aturan perpajakan, dimana terdapat prinsip Uniformity serta Assumed & discharged. Namun sejak UU Migas direvisi, kedua hal tersebut dihilangkan di dalam kontrak kerja sama migas RI.
Karena itu, ia pun berharap kepada pemerintahan selanjutnya dapat mengembalikan sistem kontrak seperti yang ada di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971.
"Kalau saya usulkan begini, karena fiskal bisa dikendalikan pemerintah maka kembalikan saja PSC paling awal. Kalau pemerintah mau, pertanyaannya mau gak? Jawabannya pasti nggak. Ya mudah-mudahan saja mau," kata dia.
(ven)