Selamat Bekerja Prabowo-Gibran! Ini 4 PR Ekonomi Warisan Jokowi

M Rosseno Aji Nugroho, CNBC Indonesia
21 March 2024 08:35
Infografis, 16 Provinsi Kompak Sumbang 1 Juta Lebih Suara ke Prabowo
Foto: Infografis/ 16 Provinsi Kompak Sumbang 1 Juta Lebih Suara ke Prabowo/ Edward Ricardo
Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menjadi pemenang Pemilihan Presiden 2024. Hasil rekapitulasi suara KPU menyatakan pasangan ini memperoleh 96.214.691 suara.

Prabowo unggul di 36 provinsi yang artinya dia menang satu putaran. Sebagai pemenang yang akan menggantikan Presiden Jokowi pada 20 Oktober nanti, ada sejumlah pekerjaan rumah di bidang ekonomi yang harus dikerjakan oleh Menteri Pertahanan tersebut.

Berikut ini adalah tantangan ekonomi yang ditinggalkan Jokowi untuk diselesaikan penggantinya, Prabowo Subianto.

1. Konsumsi Merosot

Prabowo-Gibran harus menyelesaikan PR pertama, yakni tingkat konsumsi masyarakat yang terus melemah beberapa tahun terakhir. Sebelum pandemi Covid-19 melanda Indonesia, tingkat pertumbuhan konsumsi masyarakat masih berada pada rata-rata 5% per tahun.

Namun, setelah pandemi pertumbuhan ini mengalami tren penurunan. Pada 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi masyarakat RI hanya mampu tumbuh 4,94%. Tingkat pertumbuhan itu semakin mengkhawatirkan di 2023, yaitu hanya 4,82%.

Lemahnya pertumbuhan konsumsi ini patut diwaspadai, karena sektor ini merupakan penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Rata-rata konsumsi menyumbang lebih dari 50% dari Produk Domestik Bruto Indonesia. Pada 2023 misalnya sektor ini berkontribusi sebesar 53,18% dari pertumbuhan ekonomi Indonesia.

BPS dan pemerintah menyatakan pelemahan pertumbuhan konsumsi ini dipicu dari pergeseran masyarakat yang mulai doyan berinvestasi. Sejumlah ekonom pesimistis dan mengatakan daya beli masyarakat Indonesia sedang tertekan oleh berbagai faktor.

Prabowo-Gibran tak bisa berleha-leha karena pada 1 Januari 2025 tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12%. Kenaikan PPN ini diprediksi akan semakin menggerus kemampuan masyarakat untuk berbelanja.

2. Surplus Dagang Rekor Beruntun, Uangnya Entah di Mana

Pemerintahan Presiden Jokowi berhasil memecahkan rekor surplus perdagangan selama 46 bulan beruntun hingga Februari 2024. Namun, rekor ini bukan tanpa catatan karena nilai surplus Indonesia terus menurun.

Berdasarkan catatan BPS per Februari 2024, Indonesia mengalami surplus US$ 870 juta lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai US$ 2,02 miliar. Surplus ini turun tajam dibandingkan surplus pada Februari 2023 yang mencapai US$ 5,48 miliar. Penurunan surplus ini dipengaruhi oleh turunnya ekspor dan naiknya impor. Ekspor dibanding Februari 2023 nilai ekspor turun sebesar 9,45 secara tahunan dan impor naik hingga 15,83% secara tahunan.

Surplus yang terjadi beruntun selama 3 tahun lebih ini juga tak dinikmati sepenuhnya untuk ekonomi Indonesia. Pasalnya, devisa hasil ekspor tidak masuk ke pasar keuangan dalam negeri. Besarnya surplus dagang yang dialami Indonesia, tidak berbanding lurus dengan peningkatan cadangan devisa.

Pada Mei 2020, surplus neraca dagang pertama kali terjadi di era Jokowi sebesar US$2,01 miliar sementara cadev Indonesia tercatat sebesar US$130,5 miliar. Namun sedikit berbeda pada Oktober 2021, neraca dagang tertinggi mengalami surplusnya sebesar US$5,8 miliar sedangkan cadev terpantau mencapai puncaknya pada September 2021 sebesar US$146,9 miliar atau satu bulan sebelumnya.

Masalah ini disadari oleh pemerintahan Jokowi. Karena itu, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam. Aturan ini mewajibkan eksportir untuk memarkirkan dolar hasil ekspornya di sistem keuangan dalam negeri. Prabowo-Gibran punya tugas untuk mendorong pelaksanaan aturan ini.

3. Impor RI Turun, Tanda Produksi Melemah?

Impor RI mengalami tren penurunan. Per Februari 2024, BPS mencatat nilai impor Indonesia sebesar US$18,44 miliar atau merosot 0,29%. Penurunan tersebut sebenarnya menandai tren penurunan impor yang sudah terjadi sejak pertengahan 2023.

Impor RI sempat melonjak pada Mei 2023 sebesar US$ 21,28 miliar. Namun merosot di bulan berikutnya menjadi hanya US$ 17,15 miliar. Pada November 2023 angka itu sempat kembali naik menjadi US$ 19,59 miliar, namun terus mengalami tren penurunan hingga Februari 2024.

Tren penurunan yang dialami oleh Indonesia dipicu oleh penurunan nilai impor nonmigas. Impor nonmigas pada September 2023 turun 14,46% dibandingkan September 2022. Dari sisi nonmigas, impor bahan baku dan barang modal mengalami penurunan paling dalam bulan itu. Pada periode yang sama, aktivitas bisnis yang tercermin dari Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur memberikan sinyal pelemahan.

Pada periode akhir 2023, sikap wait and see para pengusaha menunggu hasil Pemilihan Presiden 2024 ditengarai menjadi pemicu penurunan impor ini. Namun, baru-baru ini Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja pengusaha tengah kesulitan memperoleh bahan baku untuk produksi. Dia menekankan yang menjadi masalah ada pada sisi produksi industri yang tengah melambat karena sulitnya memperoleh bahan baku dari internasional.

4. Bocor.. Bocor...

Presiden Jokowi berhasil mencatatkan kinerja realisasi investasi yang baik selama memimpin. Pada 2023, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi mencapai Rp 1.418,9 triliun. Besaran realisasi ini melampaui target pemerintah yaitu Rp 1.400 triliun.

Realisasi sebesar Rp 1.419 triliun tersebut meningkat 17,5% dibandingkan realisasi 2022. Data BKPM menunjukkan realisasi investasi asing (penyertaan modal asing/PMA) mencapai Rp 744 triliun atau 52,4% dari total realisasi investasi. Sementara itu, investasi dalam negeri (penyertaan modal dalam negeri/PMDN) mencapai Rp 674,9 triliun.

Sekali lagi, capaian realisasi investasi ini bukan tanpa catatan. Investasi di era Jokowi dinilai masih kurang efisien. Tidak efisiennya investasi itu dapat terlihat dari penyerapan tenaga kerja yang hanya mencapai 1,823 juta pekerja pada 2023.

Kelemahan realisasi investasi juga terlihat dari skor ICOR yang relatif tinggi. Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan ICOR di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) meningkat dari sekitar 5% pada 2014 menjadi 8,16% pada 2022. Prestasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lebih baik dengan rata-rata skor ICOR yang mencapai 4,18%.

ICOR mencerminkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan satu unit output dalam mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Nilai ICOR diperoleh dengan membandingkan besarnya tambahan kapital dengan tambahan output.

Semakin besar nilai koefisien ICOR, maka semakin tidak efisien perekonomian pada periode waktu tertentu. Banyak faktor yang membuat nilai ICOR Indonesia tinggi mulai dari sarana infrastruktur yang kurang memadai, ruwetnya birokrasi, ongkos produksi, hingga tingginya biaya logistik.


(rsa/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Penampakan Prabowo Gemoy 'Nangkring' di Pinggir Jalan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular