Internasional

Fakta-Fakta Putin Menang di Pilpres Rusia, Bagaimana Nasib Ukraina?

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
19 March 2024 20:30
Presiden Rusia Vladimir Putin berbicara saat mengunjungi markas kampanyenya usai pemilihan presiden di Moskow, Rusia, Senin dini hari, 18 Maret 2024. (AP Photo/Alexander Zemlianichenko)
Foto: Presiden Rusia Vladimir Putin berbicara saat mengunjungi markas kampanyenya usai pemilihan presiden di Moskow, Rusia, Senin dini hari, 18 Maret 2024. (AP/Alexander Zemlianichenko)
Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Vladimir Putin menang telak dalam pemilihan presiden (pilpres) Rusia pada Minggu, 17 Maret lalu. Kemenangan pria berusia 71 tahun ini memperkuat cengkeramanya pada kekuasaan di negara tersebut.

Sejumlah pertanyaan pun timbul terkait kelanjutan perang dengan Ukraina di mana Putin dengan tegas tidak akan mundur sebelum meraih kemenangan penuh.

Berikut fakta-fakta terkait kemenangan Putin, sebagaimana dihimpun dari Reuters pada Selasa (19/3/2024).

1.Dominasi Putin

Kemenangan Putin memang tidak diragukan lagi. Namun skala kemenangannya tergolong baru jika dibandingkan dengan standar pasca-Soviet.

Putin saat ini tetap populer di Rusia di tengah konfrontasi dengan Barat mengenai perang Ukraina, dia tidak memiliki saingan domestik yang serius. Bahkan, memegang kendali penuh atas negara Rusia.

Menurut hasil resmi, Putin meraih 87,3%, atau 76 juta suara. Jumlah pemilih mencapai lebih dari 77%, yang juga yang terbesar dalam sejarah Rusia pasca-Soviet.

"Saya memimpikan Rusia yang kuat, mandiri, dan berdaulat. Dan saya berharap hasil pemungutan suara akan memungkinkan kita semua, bersama rakyat Rusia, mencapai tujuan ini," kata Putin kepada wartawan.

Bagi Kremlin, hasil utama tersebut menunjukkan kepada dunia persatuan dan kekuatan Rusia di tengah krisis terbesar dalam hubungan dengan Barat. Sebagaimana diketahui Rusia mendapat banyak sanksi dari Amerika Serikat (AS) cs karena perang dengan Ukraina. 

2.Perang Ukraina

Terpilihnya kembali Putin menjadi dukungan atas perangnya di Ukraina. Ini diyakini akan yang memberinya "ruang domestik" yang lebih luas untuk bermanuver dalam perang, di mana ia juga memiliki waktu lebih banyak.

Saat ini, kepala mata-mata Barat mengatakan perang ini berada di persimpangan jalan yang dapat menyebabkan kekalahan simbolis bagi Barat atau Rusia sendiri. Tapi Moskow sendiri sudah menguasai hampir seperlima wilayah Ukraina.

Direktur Badan Intelijen Pusat AS William Burns bulan ini mengatakan bahwa jika negara-negara Barat dapat memberikan lebih banyak bantuan kepada Ukraina, maka negara tersebut akan tetap berada di garis depan pada tahun 2024. Termasuk mendapatkan kembali inisiatif dan kemudian bernegosiasi dari posisi yang kuat dan berlabuh di Barat.

"Tapi, tanpa dukungan seperti itu, Ukraina bisa menghadapi masa depan yang jauh lebih suram, kata Burns.

"Keberhasilan Rusia dalam perang tersebut akan memicu ambisi kepemimpinan China dalam berbagai kemungkinan mulai dari Taiwan hingga Laut China Selatan," jelasnya.

3.Penolakan Barat

Negara-negara Barat menolak kemenangan Putin. Mereka mengatakan pemilu ini tidak berlangsung bebas dan adil.

Namun mereka tidak menyatakan akan menolak mengakui Putin sebagai pemimpin Rusia. Meski aktivis oposisi Rusia yang tinggal di Eropa telah meminta negara-negara Barat untuk menyatakan pemilu tersebut tidak sah dan tidak ada hubungannya dengan Putin.

Sementara itu, Kremlin mengatakan mereka tidak peduli dengan apa yang dikatakan Barat. AS cs disebut sebagai kelompok negara yang bermusuhan dan berperang dengan Rusia di Ukraina.

Sebaliknya, Presiden China Xi Jinping, Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi dan para pemimpin Iran dan Korea Utara (Korut) mengucapkan selamat kepada Putin atas kemenangan pemilunya dan berupaya menjalin hubungan yang lebih erat dengan Rusia. Mereka menggarisbawahi perpecahan global yang telah terungkap dan diperburuk oleh perang Ukraina.

4.Oposisi Rusia

Oposisi Rusia yang anti-Kremlin menganggap pemilu ini sebagai pertanda "demokrasi kediktatoran". Dilaporkan bahwa ribuan orang hadir di tempat pemungutan suara di Rusia dan ibu kota di seluruh dunia pada Minggu siang untuk bergabung dalam protes damai namun simbolis terhadap Putin.

Meskipun penyelenggara mengatakan protes tersebut sukses, hal ini juga menggambarkan betapa lemahnya oposisi anti-Putin di Rusia. Mulai dari kelompok liberal dan monarki pro-Barat hingga komunis dan ultra-nasionalis, oposisi terpecah oleh perpecahan mengenai strategi dan ideologi.

Dari tiga kandidat yang diperbolehkan melawan Putin dalam pemilu, Nikolai Kharitonov dari Partai Komunis memenangkan 4,3%, Vladislav Davankov dari partai Rakyat Baru memenangkan 3,9% dan Leonid Slutsky, pemimpin Partai Demokrat Liberal yang nasionalis, memenangkan 3,2%.

Pihak berwenang melarang dua kandidat anti-perang, Boris Nadezhdin dan Yekaterina Duntsova, untuk mencalonkan diri, dengan alasan adanya ketidakberesan dalam dokumen mereka.

Hasil resmi menunjukkan tingkat dukungan tertinggi bagi Putin terdapat di wilayah Kaukasus Utara di Chechnya dan Dagestan serta di wilayah Donetsk dan Luhansk di Ukraina yang dikuasai Rusia.


(sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Putin Ngamuk di Tahun Baru, Perang Rusia-Ukraina Makin Ngeri

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular