Jika Tak Ditahan, Suplai Nikel RI Bisa Makin Banjiri Dunia
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga nikel Dunia terancam bisa semakin terjun bebas tatkala suplai tak sesuai dengan demand. Hal itu bisa terjadi apabila nikel Indonesia terus bertambah dan membanjiri pasar nikel Dunia.
Ketua Umum Persatuan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli menyatakan bahwa Indonesia sudah memproduksi hampir 2 juta ton nikel atau 1,97 juta ton yang dipasok untuk Dunia. Hanya saja, kebutuhan nikel Dunia sedang mengalami keterbatasan akibat penurunan permintaan dari China.
"Dari China tidak sesuai dengan yang diekspektasikan di awal, sehingga terjadi over suplai nikel sekitar 240 ribu ton. Sehingga ini berpengaruh kepada harga di pasar global," ungkap Rizal kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (5/4/2024).
Nah, untuk mengatasi over suplai itu, Rizal menyatakan bahwa perlu adanya efisiensi di perusahaan tambang maupun pabrik smelter yang sudah terbangun di Indonesia.
Tak cukup dengan itu, pemerintah perlu melakukan moratorium pembangunan smelter nikel baru maupun pemberhentian sementara pabrik smelter yang sedang dibangun.
Hal itu sebagai upaya menghentikan over suplai nikel dunia yang terjadi saat ini. Rizal mencatat, saat ini terdapat beberapa perusahaan yang sedang dalam tahap konstruksi pembangunan smelter.
"Kalau ini selesai di bangun di khawatirkan menambah suplai hampir 12 juta ton, ini pasti akan membanjri pasar global lagi, ada juga yang dalam perencanaan, nah mungkin ini bisa diopertimbangkan untuk di hold sehingga tidak membanjiri pasar nikel dari kita," ungkap Rizal.
Sebagaimana diketahui, harga nikel dunia jatuh mendekati posisi terendah dalam tiga tahun terakhir. Jatuhnya harga ini dinilai akibat banjirnya pasokan nikel dari Indonesia.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto mengatakan bahwa Indonesia saat ini tengah mendorong pembangunan ekosistem baterai kendaraan listrik dalam negeri.
Dia menilai turunnya harga nikel saat ini bisa mendorong produksi baterai EV yang menggunakan bahan baku nikel menjadi ekonomis. Seto menilai jika harga nikel terlalu tinggi maka akan membuat produksi baterai EV mahal yang berdampak pada harga mobil listrik yang mahal pula dan menurunkan daya beli masyarakat.
"Kalau harga nikel tinggi US$ 20 ribu US$ 24 ribu, US$ 25 ribu maka nanti harga baterai mahal, mobil listriknya mahal, akibatnya penjualannya turun dan akan ada teknologi baru yang menggantinkan untuk nikel ini," ungkap Seto dalam acara Economic Outlook 2024 CNBC Indonesia, dikutip Sealasa (5/3/2024).
Seto juga mengungkapkan jika harga nikel terlampau tinggi maka akan ada teknologi lain yang menggantikan nikel dan bahkan bisa mengakibatkan hilirisasi nikel di Indonesia tidak berkembang.
"Kita tahu LFP (Lithum-Ferro-Phosphate) bisa berkembang tapi kalau harga nikel terus tinggi hilirisasi nggak akan tumbuh," tambahnya.
Adapun, seto mengatakan tingginya harga komoditas tambang juga pernah terjadi pada jenis kobalt yang mana mengakibatkan kandungan kobalt pada baterai EV menurun.
"Sejarahnya di kobalt 4 tahun lalu bisa US$ 80 ribu 3-4 kali harga sekarang. Yang terjadi, perusahaan baterai berusaha mencari teknologi baru menurunkan kobaltnya. Kalau dulu 20% di katodanya sekarang ada yang 10% 5%. Jadi mempengaruhi demand jangka panjang jadi kita harus berpikir," bebernya.
Dengan begitu, dia mengungkapkan dengan mendorong pembangunan ekosistem baterai EV di Indonesia maka Indonesia tidak hanya berkompetisi melalui nikel tapi juga pada komoditas lainnya.
"2-3 tahun akan ekosistem baterai semakin lengkap, anoda, copperfoil, nanti Indonesia akan compete tidak hanya nikel tapi ekosistem mobil dan baterai kendaraan listrik yang kompetitif," tandasnya.
(pgr/pgr)