
Pak Prabowo! Ini 5 Masalah yang Harus Diselesaikan RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasangan calon Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mendominasi perhitungan quick count lembaga survei nasional. Keduanya meraih suara lebih dari 51% hingga Kamis (15/2/2024). Sementara itu, Anies-Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD tertinggal jauh.
Adapun, real count hingga Kamis (15/2/2024) pukul 11:00 WIB, data yang terbaru masih menunjukkan hasil perhitungan suara per 09.00 WIB. Pasangan Prabowo-Gibran masih unggul di sejumlah poin, Anies-Cak Imin berada di posisi ke-2, unggul tipis dibanding Ganjar-Mahfud di posisi ke-3.
Kendati demikian, perhitungan real count masih terus berlangung. Keputusan final untuk ketiga calon akan ditetapkan pada Maret 2024, setelah masa rekapitulasi suara. Jika Prabowo dan Gibran adalah pasangan calon yang terpilih kelak, CNBC Indonesia merangkum lima masalah yang akan dihadapi presiden dan wakil presiden baru RI, pengganti Jokowi:
- Ekonomi Tumbuh 7%
Ekonom senior sekaligus mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan siapapun presiden yang terpilih pada Pemilu 2024 wajib mengejar target pertumbuhan ekonomi 6%-7%. Bila tidak, maka Indonesia bisa gagal menjadi negara berpendapatan tinggi.
"Siapapun presidennya harus mendorong pertumbuhan ekonomi mulai dari 6 sampai 7%," kata Chatib dalam wawancara dengan CNN, dikutip pada Kamis (15/2/2024).
Chatib mengatakan pencapaian pertumbuhan ekonomi 6-7% adalah satu-satunya cara agar Indonesia bisa terlepas dari jebakan negara berpendapatan menengah. Upaya mengejar target pertumbuhan tersebut dapat dicapai dengan meningkatkan kontribusi investasi terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia.
"Mereka harus mencari jalan keluar untuk itu," kata Chatib.
Selain itu, dia berpesan siapapun presiden yang terpilih, Indonesia butuh akselerasi ekonomi. Ini mutlak harus dilakukan karena Indonesia akan menuju aging population pada 2050.
"Jadi kesempatan untuk Indonesia hanya tinggal 26 tahun lagi dari saat ini. jadi siapapun presidennya butuh mendorong pertumbuhan ekonomi mulai dari 6% sampai 7%," kata Chatib.
Oleh karena itu, presiden baru Indonesia harus bisa mendorong pertumbuhan ekonomi ke arah 6%-7%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini masih di sekitar 5%. Kinerja tersebut, kata Chatib, cukup baik. Namun, dia memastikan tidak akan cukup untuk mengeluarkan Indonesia dari jebakan pendapatan menengah atau middle income trap.
"Jadi saya percaya siapapun yang jadi presiden itu butuh mencapai pertumbuhan 6%-7%, mereka harus mencari jalan keluar untuk itu," tegasnya.
Direktur Eksekutif INDEF Ahmad Tauhid mengatakan target pertumbuhan ekonomi 6%-7% agak berat.
"Kita paling tinggi 5,5% aja udah bagus. Di tengah situasi domestic dan global yang seperti ini. Agak sulit sih kalau sesuai target dari presiden terpilih versi quick count. Membutuhkan energi yang sangat besar," kata Ahmad.
Menurutnya, untuk mencapai target tersebut, sektor industri harus diperkuat, dilindungi dan diayomi. Selain itu, Ahmad menilai Jokowi harus mempertahankan stabilitas sektor pertanian.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menuturkan pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih tinggi ke atas 6% di jangka pendek agar kue ekonomi semakin membesar.
"Kuncinya bagaimana membuat Indonesia lebih berdaya saing," katanya.
Kemudian, dia menilai presiden baru ini harus memastikan pembangunan yang lebih inklusif vertikal dan horizontal. Vertical: Inclusive growth antara kelompok pendapatan masyarakat dan Horizontal growth: inclusive growth across regions.
"Sebagian kebijakan sudah dikeluarkan di masa Presiden Jokowi, perlu dilanjutkan dan ditingkatkan," ungkapnya.
- Kelas Menengah
Dalam wawancara yang sama, Chatib Basri mengingatkan agar presiden baru Indonesia yang terpilih kelak untuk tidak mengabaikan kondisi kelas menengah. Chatib mengatakan dirinya fokus pada masalah menengah bawah. Belajar dari Chili, negara ini gagal menjadi negara maju setelah dilanda protes besar, Chilean Paradox.
"Mereka tumbuh sangat cepat tapi ada protes besar. Kenapa? Karena mereka tidak memperhatikan kelas menengah ke bawah," tegas Chatib dalam wawancara dengan CNN, dikutip, Kamis (15/2/2024).
Oleh karena itu, presiden terpilih harus memperhatikan nasib kelas menengah ini, karena data menunjukkan pertumbuhan ekonomi indonesia memberikan manfaat kepada 20% masyarakat bawah dan 20% masyarakat atas.
Selama ini, menurutnya, pemerintah telah melakukan hal tepat dengan memberikan BLT dan bantuan sosial. Namun, dia berharap masyarakat kelas menengah bawah tidak boleh diabaikan.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengakui kebijakan pemerintah belum fokus menjaga 'dompet' alias daya beli kelas menengah. Padahal, daya beli kelompok ini tidak terlalu cukup kuat untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Menurutnya, pemerintah selama ini memang fokus pada penanganan ekonomi masyarakat miskin atau yang tergolong ke dalam 20% kelas terbawah, melalui berbagai program bantuan sosial. Sedangkan kelas menengah belum ada fokus kebijakan dalam APBN.
"Terkait middle class itu adalah sesuatu yang memang perlu kita terus kalibrasi policy-policy karena dalam fiskal fokusnya memang selama ini untuk bottom 20%, kita selama ini sudah relatif well establish," kata Sri Mulyani dalam acara seminar Nasional Outlook Perekonomian Indonesia 2024 di Hotel St Regis, Jakarta, dikutip Kamis (15/2/2023).
"Ada by name, by address apakah itu PKH sembako atau berbagai policy-policy untuk masyarakat berpenghasilan rendah," tegasnya.
Namun, Sri Mulyani menjelaskan fokus kebijakan dalam APBN untuk kelas menengah belum secara khusus masuk akibat daya belinya berbeda antar percentile kelasnya, demikian juga dengan pola perilakunya.
"Middle class ini memang range nya masih sangat besar kalau kita bicara percentile 3 sampai 7 itu variety dari behavior-nya beda-beda, purchasing power-nya beda-beda," ucap Sri Mulyani.
- Rasio Pajak
Chatib Basri mengungkapkan masalah lainnya yang harus menjadi fokus pemerintah baru adalah rasio pajak.
"Siapapun presiden terpilih harus bisa meningkatkan tax ratio, dan menarik investor luar negeri. Dan butuh meningkatkan produktifitas," ungkapnya.
Dalam catatan OECD, negara ASEAN dengan tax ratio tertinggi pada 2021 adalah Vietnam yakni 22,7% disusul kemudian Filipina (17,8%), Thailand (16,5%), Singapura (12,8%), dan Malaysia (11,4%).
Sementara itu, negara pasifik seperti Vanuatu memiliki tax ratio sebesar 14,2%, Samoa sebesar 25%, dan Maladewa sebesar 19,1%. Negara Asia dengan tax ratio tertinggi adalah Jepang yakni 31,4%.
Hadi Poernomo, Dirjen Pajak periode 2001 - 2006, mengungkapkan Bung Karno pernah menyebutkan dalam satu peraturan pengganti UU No.2/1965 khususnya pasal 12 ayat 2 yang menyatakan bahwa, pajak atau penerimaan negara itu sukses kalau ditiadakan rahasia bagi aparatur pajak.
Dia juga mengingatkan bahwa pada 1 Januari 1984, Presiden Soeharto mengubah Undang-undang Perpajakan yang sebelumnya Official Assesment di mana pemerintah menentukan jumlah pajak dari wajib pajak, menjadi self assessment.
"Jadi wajib pajak diberi kesempatan menghitung sendiri pajaknya, membayar sendiri, dan melapor sendiri pajaknya," ungkapnya.
Alhasil, Hadi menilai data-data di atas bisa menunjukkan mengapa tax ratio Indonesia tidak bisa mencapai angka maksimal.
Sekarang, yang dihitung adalah SPT dimana petugas pajak tidak mempunyai monitoring untuk menguji benarkah jumlah, item, sumber-sumber keuangan di SPT.
"Dari situlah timbul terus persoalan seolah-olah terjadi macam-macam. Padahal itulah kesempatan yang diberi UU, untuk tidak ditutup." ujarnya.
Hadi juga menjelaskan bahwa dalam UU No 9/2017 menyatakan rahasia perbankan tidak berlaku bagi Perpajakan. Demikian pula untuk rahasia bagi penanaman modal dan bank syariah, juga tidak berlaku untuk hal perpajakan.
"Itulah kekuatan dari Undang-Undang Perpajakan sekarang. Kalau saja semua pihak melaksanakan hal hal itu sesuai dengan Undang-undang, maka seharusnya tax ratio Indonesia akan tinggi sekali," tegasnya.
- Utang Pemerintah
Utang pemerintah diperkirakan akan mencapai Rp 10 ribu triliun di masa akhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Utang tersebut harus ditanggung oleh presiden penggantinya.
"Tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunganya ini boleh dikatakan seperti besar pasak dari tiang," kata Wakil Rektor II Universitas Paramadina Handi Risza dalam diskusi daring, Senin (5/2/2024).
Handi mengatakan saat awal masa kepemimpinan Jokowi, utang pemerintah baru sekitar Rp 2.608 triliun. Namun, menjelang akhir masa jabatannya utang negara sudah naik 3 kali lipat menjadi Rp 8.041 triliun pada Desember 2023.
"Bahkan kalau kita gabung dengan utang BUMN nilainya bisa saja mencapai Rp 10 ribu triliun, inilah yang diwariskan oleh pemerintah Jokowi yang harus ditanggung pemerintah baru, siapapun yang terpilih," ujar dia.
Handi mengatakan menanggung utang jumbo ini tak akan mudah. APBN, kata dia, terbebani setiap tahunnya untuk membayar pokok dan bunganya sebesar Rp 500 triliun.
"Ini menjadi satu beban negara yang sangat besar sekali, apalagi belanja kita cuma di sekitar Rp 3.000 triliun pada 2024, sekitar Rp 500 triliun itu sudah kita belanjakan untuk membayar bunga utang," kata dia.
- Subsidi Energi
Realisasi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi perbincangan tiap tahun karena realisasinya hampir selalu lebih tinggi dibandingkan alokasi. Subsidi BBM bahkan seperti "bom waktu" yang bisa meledak setiap saat dan membahayakan kesehatan APBN. Hal inilah yang perlu menjadi perhatian calon wakil presiden (cawapres) yang akan melakukan debat pada Jumat (22/12/2023).
Realisasi subsidi BBM tetap menjadi beban meskipun Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberlakukan kebijakan baru di awal pemerintahannya pada 2015.
Sebagai catatan, sebelum 2015, pemerintah menanggung subsidi premium dengan menetapkan harga per liternya. Pemerintah akan menanggung selisih harga keekonomian dengan harga yang dijual PT Pertamina. Cara tersebut dianggap membuat anggaran jebol karena subsidi rawan bengkak oleh kenaikan harga minyak Indonesia /ICP, pelemahan rupiah, hingga over kuota.
Pada 2012, misalnya, realisasi subsidi BBM jebol menjadi Rp 211,9 triliun, jauh di atas alokasinya yang ditetapkan sebesar Rp 137,4 triliun. Pada 2013, realisasi subsidi BBM menembus Rp 210 triliun, lebih tinggi dari alokasinya (Rp 199,9 triliun).
Sejak 1 Januari 2015, penentuan harga BBM mengacu pada fluktuasi harga minyak dunia yang dievaluasi pada periode tertentu tetapi harga BBM tetap ditetapkan pemerintah.
Dengan harga yang masih ditetapkan maka Pertamina sebagai distributor BBM tidak bisa menetapkan harga sesuai harga pasar terkini. Harga Pertalite, misalnya, tidak pernah naik sejak 2018- September 2022. Pembengkakan subsidi pun terus terjadi.
Sepanjang 11 tahun terakhir (2012-2022), hanya empat kali realisasi BBM di bawah alokasi yang ditetapkan yakni pada tahun 2010, 2014, 2015, dan 2019. Pada periode tersebut, asumsi makro untuk ICP jauh di bawah yang ditetapkan.
Dalam catatan pemerintah, realisasi subsidi BBM dan Liquified Petroleum Gas (LPG) 3 Kg pada periode 2011-2022 mencapai Rp 1.535,83 triliun, lebih tinggi daripada alokasinya sebesar yang ditetapkan yakni Rp 1.131,6 triliun.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sri Mulyani Blak-blakan Anggaran Pemilu 2024 Capai Rp 70,5 T