Waspada Dampak Buruk dari Kelas Menengah 'Kurang Perhatian'

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
12 February 2024 10:05
Potret Pekerja Jakarta Usai Putusan Kenaikan UMP 2024. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Potret Pekerja Jakarta Usai Putusan Kenaikan UMP 2024. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Masalah kelas menengah di dalam negeri tidak boleh diabaikan, terutama ketika Indonesia bertekad menjadi negara maju. Pasalnya, jumlah kelas menengah di Indonesia terbilang cukup besar dan berdampak pada ekonomi.

Mantan Menteri Keuangan RI 2013-2014 Chatib Basri mengingatkan pemerintah tidak boleh abai terhadap nasib masyarakat kelas menengah di Indonesia, jika ingin menjadi negara maju. Menurutnya, Indonesia harus belajar dari Chile. Negara ini adalah negara dengan kinerja ekonomi ciamik di antara negara-negara Amerika Latin.

"Chile adalah sebuah negara di Latin Amerika dengan income per kapita ter tinggi. Chile adalah sebuah negara dengan human development index terbaik di Latin Amerika. Bahkan Chile mampu menurunkan tingkat kemiskinan dari 53% menjadi 6%, sangat mengesankan," ungkapnya dalam akun Instagram pribadinya @chatibbasri, dikutip Senin (12/2/2024).

Namun, ironisnya ditengah kinerja ekonomi yang hebat Chile pada Oktober 2019, terjadi unjuk rasa besar, yang nyaris menimbulkan revolusi. Hal itu lantaran terabaikannya masyarakat kelas menengah.

"Fenomena ini dikenal sebagai the Chilean Paradox. Sebastian Edwards, dari UCLA menyebut salah satu alasan penjelasnya adalah terabaikannya kelas menengah," katanya.

Menurutnya, hal itu tentu memiliki relevansi dengan Indonesia untuk bisa memetik pelajaran dari kejadian yang sudah dialami oleh Chile.

Chatib menjelaskan Indonesia perlu memikirkan perluasan perlindungan sosial untuk kelas menengah dan perbaikan jasa publik, tata kelola pemerintahan yang bersih dan juga soal keadilan.

"Saya menyebut kelas ini sebagai "Professional complainers". Issue kelas menengah ini akan semakin relevan untuk Indonesia," imbuhnya.

Dia juga menjabarkan studi yang dilakukan oleh Dartanto dan Can (2023) menunjukkan bagaimana dalam periode 2019-2022 manfaat dari kebijakan atau program pemerintah terfokus pada 20% persen kelompok terbawah dan 10% kelompok teratas.

"Tetapi melupakan kelompok kelas menengah (persentil 40-80%). Bahkan kelompok persentil 60%-80% mengalami pertumbuhan ekonomi negatif," kata Chatib.

Adapun, Chatib menilai masyarakat kelas menengah tidak merasakan dampak apapun dari pertumbuhan ekonomi yang pesat. Hal itu lantaran masyarakat kelas menegah tidak berhak mendapatkan bantuan sosial karena tidak miskin. Namun di saat yang sama, kelas menengah tidak menikmati pertumbuhan ekonomi seperti kelas pendapatan atas.

"Kemudian terdapat gap atas ekspektasi dengan realita dimana kemajuan yang terjadi dianggap tidak ksesuai dengan ekspektasi kelas menengah," tandasnya.

Dengan begitu, dia menilai perlu adanya peningkatan kualitas pelayanan jasa publik yang lebih baik dan tata kelola pemerintahan yang lebih baik pula. Hal itu seperti yang akan dituntut oleh masyarakat seiring dengan meningkatnya pendapatan per kapita sebubah negara.

"Pertumbuhan ekonomi akan mendorong munculnya kelas konsumen baru yang membawa implikasi ekonomi dan politik. Kelas konsumen baru -yang cerewet, kritis- dengan pendapatan yang lebih baik akan menuntut kualitas pelayanan jasa publik yang lebih baik, keadilan, tata kelola pemerintahan yang lebih baik," jelasnya.

Ternyata, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pernah mengakui kebijakan pemerintah belum fokus menjaga 'dompet' alias daya beli kelas menengah. Padahal, daya beli kelompok ini tidak terlalu cukup kuat untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Menurutnya, pemerintah selama ini memang fokus pada penanganan ekonomi masyarakat miskin atau yang tergolong ke dalam 20% kelas terbawah, melalui berbagai program bantuan sosial. Sedangkan kelas menengah belum ada fokus kebijakan dalam APBN.

"Terkait middle class itu adalah sesuatu yang memang perlu kita terus kalibrasi policy-policy karena dalam fiskal fokusnya memang selama ini untuk bottom 20%, kita selama ini sudah relatif well establish," kata Sri Mulyani dalam acara seminar Nasional Outlook Perekonomian Indonesia 2024 di Hotel St Regis, Jakarta, Jumat (22/12/2023).

"Ada by name, by address apakah itu PKH sembako atau berbagai policy-policy untuk masyarakat berpenghasilan rendah," tegasnya.

Namun, Sri Mulyani menjelaskan fokus kebijakan dalam APBN untuk kelas menengah belum secara khusus masuk akibat daya belinya berbeda antar percentile kelasnya, demikian juga dengan pola perilakunya.

"Middle class ini memang range nya masih sangat besar kalau kita bicara percentile 3 sampai 7 itu variety dari behavior-nya beda-beda, purchasing power-nya beda-beda," ucap Sri Mulyani.

Oleh karena itu, Sri Mulyani mengungkapkan untuk menopang keberlangsungan hidup masyarakat kelas menengah, yang bisa dilakukan pemerintah saat ini adalah memastikan seluruh sektor pelayanan publik itu terjangkau dengan kualitas yang baik.

"Makanya kalau bicara masalah infrastruktur sampah pendidikan ini jadi sesuatu yang menjadi perhatian, air bersih, listrik, internet itu menjadi sesuatu yang menjadi kebutuhan middle class, mereka membutuhkan itu tapi mereka tidak punya daya beli yang besar juga makanya itu harus tersedia dan affordable dan mereka mulai tuntut kualitas," tegasnya.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pesan dari Chatib Basri, RI Harus Waspada Hadapi Ancaman Ini!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular