Catatan LPEM UI: RI Kena Gejala Deindustrialisasi di Era Jokowi

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
Senin, 05/02/2024 10:25 WIB
Foto: Pabrik. (CNBC Indonesia/Sefti Oktarianisa)

Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) mencatat rata-rata pangsa manufaktur terhadap PDB di periode kedua Presiden Joko Widodo atau Jokowi mencapai level yang terendah.

Kondisi ini diperkuat dengan data OECD mengenai nilai tambah manufaktur sebagai bagian produksi juga menunjukkan tren penurunan di Indonesia dalam dua dekade terakhir.

Sejak Presiden Jokowi menjabat pada tahun 2014, rata-rata nilai tambah manufaktur adalah sekitar 39,12% hingga tahun 2020, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata pada masa Presiden Megawati (43,94%) dan Presiden SBY (41,64%).


LPEM, dalam laporan Proyeksi Kuartal I-2024, menegaskan kondisi ini adalah tanda-tanda deindustrialisasi dini. Kondisi ini memicu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kurang maksimal alias stagnan di kisaran 5%. Deindustrialisasi adalah suatu kondisi dimana industri tidak dapat lagi berperan sebagai basis pendorong utama perekonomian suatu negara atau dengan kata lain kontribusi sektor ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional terus mengalami penurunan.

"Sepanjang era Presiden Megawati hingga Presiden Jokowi, sektor manufaktur di Indonesia secara konsisten menyusut dan tumbuh di bawah laju pertumbuhan PDB nasional," ungkap LPEM.

Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan Indonesia telah terpapar oleh penyakit yang merusak struktur perekonomian. Penyakit itu dikenal dengan istilah dutch disease atau penyakit belanda.

"Kita terlena dengan biasa yang disebut dutch disease, sehingga kemudian terjadilah deindustrialisasi dini," kata Amalia dalam acara Peluncuran Laporan Perekonomian Indonesia 2023 yang digelar Bank Indonesia di Jakarta, Rabu (31/1/2024).

Wanita yang kini juga menjabat sebagai pelaksana tugas Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) itu mengatakan, penyakit dutch disease mulai menjangkiti Indonesia setelah periode 2002. Sumber penyakitnya ialah Indonesia saat itu menikmati ledakan harga-harga komoditas.

Akibatnya, industri manufaktur tidak berkembang, menyebabkan kontribusi manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) turun drastis secara konsisten dari saat periode 2002 sebesar 32% menjadi hanya 18,3% pada 2022.

"Artinya kita belum mencapai negara maju tapi sektor industri manufaktur kita kontribusinya ke PDB sudah turun," ucap Amalia yang juga akrab disapa Winny.

Jika kondisi ini dibiarkan, maka Indonesia semakin sulit keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap.

Jokowi Gagal

Ekonom Senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri pernah mengungkapkan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah gagal mendorong industrialisasi di Indonesia.

Faisal menegaskan Presiden Jokowi gagal membangun industrialisasi karena terlalu berfokus pada pembangunan fisik dan minimnya upaya mendorong dana perbankan agar mengalir deras untuk industri.

Padahal, nilai investasi di Indonesia terbilang tinggi dibandingkan negara-negara lain. Sayangnya, dia melihat investasi tersebut tidak dikelola dengan baik.

Belum lagi mayoritas diperuntukkan untuk sektor konstruksi berupa bangunan, kantor, mall dan lain sebagainya yang tidak berdampak pada sisi produksi. Di sisi lain, investasi terhadap mesin dan peralatan hanya 10-11% saja dari total investasi keseluruhan.

Faisal menilai kondisi ini menunjukkan bahwa investasi di Tanah Air tidak berkualitas dan tidak memberikan dampak masif terhadap PDB.

"Penggunaan investasi di Indonesia itu sudah boros, nggak bermutu," jelasnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin (5/2/2024).

Menurut Faisal, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) mayoritas diarahkan untuk bangunan, entah itu perkantoran, mall, dan sebagainya. "Bangunan ini misalnya mall, itu makin banyak menjual barang impor," ujarnya.

Sehingga, investasi di bangunan untuk memperlancar barang impor masuk, manfaatnya ke perekonomian menjadi sangat kecil. Sementara seharusnya, yang bisa menghasilan manfaat besar, adalah investasi dalam bentuk mesin dan peralatan.

"Itu namanya industri, tapi tengok berapa sehingga bisa menghasilkan berbagai jenis barang yang nyata 10-11% aja," lanjutnya.

Faisal menilai, pemerintahan Jokowi tidak mendorong terjadinya percepatan industrialisasi melainkan hanya berfokus pada penyelesaian proyek-proyek infrastruktur. Itulah kemudian yang menyebabkan rendahnya fasilitas dan modal industri di Indonesia.

"Pak Jokowi tidak meminta percepatan industrialisasi enggak, tapi semua proyek infrastruktur kelar sebelum dirinya lengser, jadi bangunan lagi kan. Pokoknya harus kelar, gitu," kritik Faisal.


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Padat Karya RI Butuh Lingkungan Usaha Kondusif & Adil