
Nih Kronologi Putusan Pajak Hiburan 40-75%! Golkar & PKS Terlibat

Jakarta, CNBC Indonesia - Kenaikan pajak hiburan menjadi 40%-75% menjadi kontroversi di kalangan pebisnis karaoke, kelab malam, spa hingga bar. Bahkan pengacara Hotman Paris dan pedangdut Inul Daratista sempat memprotes kenaikan pajak hiburan ini.
Sebagai catatan, tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas jasa kesenian dan hiburan dimuat dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Beleid baru mulai berlaku 1 Januari 2024.
UU ini mengkategorikan diskotek, karaoke, klub malam, bar dan mandi uap/spa sebagai objek hiburan tertentu/spesial yang dikenakan pajak paling rendah 40% dan tertinggi 75%.
Adapun, Rancangan Undang-Undang (RUU) HKPD ini telah disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang (UU) pada Selasa (7/12) saat Rapat Paripurna DPR ke-10 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2021-2022, tepatnya tanggal 17 Desember 2021.
UU HKPD ini mengatur ulang perekonomian daerah dan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah berharap UU ini dapat mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di setiap daerah. Pada perjalanannya, UU HKPD sempat mendapat penolakan dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Namun, jika melihat kronologi penetapan aturan mengenai pajak hiburan di dalam UU HKPD ini, ternyata PKS menjadi salah satu partai yang mendukung penerapan tarif pajak hiburan 40%-75%. Dari dokumen pemerintah yang diterima CNBC Indonesia, PKS mendukung kenaikan tarif paling tinggi 75%. Ini sejalan dengan UU No.28 tahun 2000 soal tarif Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) maksimal 75%.
Dukungan PKS ini didasari oleh konsumen di sektor hiburan ini yang merupakan masyarakat menengah atas.
"Sebagai besar konsumen pada jasa tersebut adalah masyarakat menengah ke atas," ungkap dokumen tersebut. Selain PKS, ternyata Golkar dan PAN, juga mendukung aturan ini.
Partai berlambang pohon beringin ini mengungkapkan dukungan terhadap penerapan tarif PBJT khusus jasa hiburan agar tetap 75% atau paling tidak 40%. Golkar mengingatkan agar penetapan pajak hiburan mempertimbangkan masukan narasumber dan aspek socio-religi beberapa daerah.
Sementara itu, PAN menilai jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa merupakan kebutuhan yang lazimnya dinikmati oleh orang menengah atas.
"Khusus tarif PBJT dan jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%," ungkap dokumen pemerintah tersebut.
Patut diingat, rumusan tarif RUU HKPD adalah usulan pemerintah. Pada pasar 58 ayat 2, pemerintah mengusulkan tarif khusus PBJT untuk jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan spa ditetapkan paling tinggi 40%. Besaran tarif ini sesuai dengan temuan penerapan Perda atasu UU PDRD, dimana rata-rata pajak hiburan yang dipungut hanya 40%.
Padahal, pasal 45 ayat 2 UU PDRD menetapkan khusus hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotek, panti pijat, mandi uap dan spa dapat ditetapkan pajak paling tinggi sebesar 75%.
Pasca pembahasan DPR, rumusan tarif pajak hiburan disepakati dalam Pasal 58 ayat 2, yakni: "Khusus tarif PBHT atas jasa hiburan, kelab malam, bar dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%."
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Lidya Kurinawati menjelaskan, penerapan batas minimum 40% dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD) itu pertama karena pertimbangan penikmat jasa hiburan tertentu itu hanya segelintir kelas masyarakat.
Dalam UU HKPD, jasa hiburan tertentu yang masuk objek Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) dengan tarif minimum 40% dan maksimal 75% itu adalah diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa. Sebelumnya, dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) tak disebutkan batas minimum itu, melainkan hanya maksimal 75%.
"Bahwa untuk jasa hiburan spesial atau tertentu tadi pasti dikonsumsi masyarakat tertentu, bukan masyarakat kebanyakan," kata Lidya saat konferensi pers di kantor pusat Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (16/1/2024).
Alasan kedua, Lidya melanjutkan, batasan minimum itu juga perlu ditetapkan oleh UU HKPD karena dengan maksud untuk pengendalian. Makanya, batasan minimum itu kini ditetapkan supaya pemerintah tak lagi berlomba-lomba menerapkan batasan tarifnya serendah mungkin atau bahkan hingga 0% untuk sektor tertentu itu.
"Oleh karena itu, untuk mempertimbangkan dan memberi rasa keadilan dalam upaya pengendalian, dipandang perlu menetapkan tarif batas bawahnya," tegas Lidya.
Oleh sebab itu, dia mengatakan penetapan batasan minimum tarif itu diiringi juga dengan penurunan batas maksimal untuk jasa hiburan lainnya di luar objek PBJT khusus untuk jasa hiburan, dari yang tertuang dalam UU PDRD sebesar 35% menjadi hanya 10% dalam UU HKPD.
"Ini harus kita cermati ada penurunan tarif yang ditetapkan UU yang semula jasa kesenian dan hiburan umum itu sampai dengan 35%, dengan UU ini menjadi sampai dengan 10%. Mengapa? jawabannya adalah karena pemerintah sangat mendukung pengembangan pariwisata di daerah," tegas Lidya.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ditodong Inul, Sandiaga: Pajak Hiburan RI Idealnya 20%