Dunia Tak Jadi Resesi, Tapi 2024 Masih Bikin Pusing
Jakarta, CNBC Indonesia - Ketahanan ekonomi dunia masih kuat di tengah kekhawatiran munculnya resesi akibat tren kebijakan moneter global yang sangat agresif pada 2023. Kekhawatiran ini dilayangkan oleh para pelaku ekonomi dunia yang terungkap dalam laporan World Economic Forum.
"Perekonomian global telah menunjukkan ketahanan yang mengejutkan dalam menghadapi pengetatan kebijakan moneter global yang paling agresif dalam beberapa dekade terakhir," dikutip dari Global Risks Report 2024 WEF, Jumat (12/1/2023),
Meski begitu, untuk 2024 dan jangka pendek, 1.500 responden yang terdiri dari akademisi, pengusaha, pemerintahan, dan publik yang disurvei WEF dalam Global Risks Perception Survey 2023-2024 pada September 2023 menilai pelemahan ekonomi menjadi salah satu dari 10 risiko yang paling mengkhawatirkan.
Dalam Executive Opinion Survey (EOS) yang menjadi bagian dari Global Risks Report 2024 WEF, di Indonesia bahkan pelemahan ekonomi ini menjadi kekhawatiran utama para respondennya. Setelahnya baru fenomena cuaca ekstrem, penyakit menular, kekurangan pasokan energi, serta pengangguran.
Kekhawatiran pelemahan ekonomi pada 2024 ini dipicu oleh inflasi akibat tekanan pasokan yang terus terjadi di tengah masih tingginya suku bunga. Kondisi ini menurut WEF akan membebani pertumbuhan ekonomi, khususnya bagi negara yang struktur ekonominya ditopang oleh kinerja ekspor dan manufaktur.
"Kekhawatiran terhadap kemerosotan perekonomian tersebar luas di kalangan responden sektor swasta, dan termasuk dalam lima besar risiko di 102 negara (90%) yang disurvei dalam EOS," tulis WEF dalam Global Risks Report 2024.
Pelemahan ekonomi ini juga diperburuk dengan kondisi global yang semakin terpecah saat ini. Dipicu oleh konflik perang perdagangan dan pecahnya geoekonomi antara Amerika Serikat, Uni Eropa, dan China yang menambah ketidakpastian ekonomi.
Menurut WEF, pertumbuhan ekonomi di Uni Eropa pun telah stagnan, sebesar 0,6% tahun lalu, dengan perkiraan khusus ekonomi Jerman kontraksi sebesar 0,3% pada 2023. Disebabkan oleh suku bunga yang masih terus tinggi karena inflasi belum sesuai sasaran bank sentral di level 2% akibat tekanan pasokan yang dipicu fenomena El Nino atau cuaca panas berlebih khusus untuk pasokan pangan.
"Peningkatan konflik di Timur Tengah dapat memicu lonjakan harga energi dan semakin mengganggu rute pelayaran, sehingga semakin memperparah dampak perang di Ukraina. Akibatnya, dampak inflasi yang terus-menerus terhadap biaya hidup, yang diperkirakan akan menurun pada 2024, dapat muncul kembali seiring dengan meningkatnya biaya hidup," tulis WEF.
Prospek perekonomian China tak kalah buruk, sebagai penopang eonomi kedua terbesar dunia, hasil survei WEF dalam Global Risks Report menunjukkan bahwa perekonomian China masih akan melemah pada tahun ini. Disebabkan permintaan domestik yang melemah, dan tekanan pada pasar properti.
Khusus Amerika Serikat, prospeknya juga masih menunjukkan ketidakpastian, meskipun pertumbuhan ekonomi negara itu diperkirakan mampu mencapai 2,4% pada 2024. Seiring dengan perkiraan penurunan suku bunga bank sentral The Federal Reserve atau The Fed pada paruh pertama tahun ini dan kebijakan fiskal yang masih longgar dengan defisit US$ 1,7 triliun pada 2024.
"Hasil pemilihan presiden AS pada bulan November akan menciptakan ketidakpastian tambahan terhadap prospek perekonomian negara tersebut, tergantung pada pilihan kebijakan pemerintahan berikutnya," tulis WEF.
(haa/haa)