Capres Mau Pisahkan Pajak dari Kemenkeu, Jokowi Saja Gagal

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
29 December 2023 09:45
Gedung Kementrian Keuangan Ditjen Pajak
Foto: CNBC Indonesia/ Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Wacana pemisahan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dari Kementerian Keuangan menjadi lembaga khusus Badan Penerimaan Negara terus mencuat dalam tiap Pemilihan Presiden (Pilpres) beberapa tahun terakhir.

Dalam Pilpres 2024, wacana ini disampaikan oleh dua orang capres, yaitu pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, serta calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Dalam dokumen visi misinya, Anies-Muhaimin ingin merealisasikan Badan Penerimaan Negara di bawah langsung Presiden untuk memperbaiki integritas dan koordinasi antar instansi guna menaikkan penerimaan negara.

Sementara itu, Prabowo-Gibran menjadi yang paling gencar untuk merealisasikan badan itu jika menang Pilpres 2024. Mereka bahkan menargetkan membentuk Badan Penerimaan Negara dalam 100 hari kerja masa pemerintahan Prabowo.

Dalam dokumen visi-misinya, Prabowo-Gibran menargetkan pendirian Badan Penerimaan Negara akan meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 23%.

Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Erwin Aksa menjelaskan, untuk merealisasikan BPN, pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2 itu tak akan segan membuat Perppu.

Perppu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang biasanya dikeluarkan presiden dalam situasi kegentingan yang memaksa. Namun, Erwin tidak menjelaskan kegentingan yang dimaksud.

"Kalau perlu Perppu kita keluarkan kerana kadang kalau RUU ada lobi-lobi antara DPR dan menteri keuangan yang enggak ketemu di situ," kata Erwin dalam program Your Money Your Vote CNBC Indonesia, dikutip Jumat (29/12/2023).

Erwin pun menegaskan, Perppu itu bisa dikeluarkan untuk pembentukan BPN karena sebetulnya rancangan undang-undangnya (RUU) nya telah didesain pada zaman menteri keuangan Bambang Brodjonegoro, namun ditarik kembali oleh menteri keuangan Sri Mulyani.

"Kita keluarkan Perppu sehingga teman-teman DPR sudah dapatkan materi yang tinggal mereka sahkan karena sudah dibangun RUU nya zaman menteri keuangan Pak Bambang Brodjonegoro tapi ditarik kembali," tegasnya.

Keinginan untuk membentuk badan yang dikhususkan untuk mengatur penerimaan negara memang wacana lama yang terus bergulir, namun tak kunjung terealisasi. Saat Pilpres 2014, Jokowi juga telah menyuarakan pembentukan badan ini kampanye sebagai calon presiden.

Namun, berdasarkan pemberitaan CNN Indonesia pada Desember 2014, Jokowi tak jadi merealisasikan pembentukan badan itu karena memang tak menganggap sebagai solusi peningkatan penerimaan perpajakan. Hal itupun langsung disampailan Bambang Brodjonegoro yang saat itu menjabat sebagai menteri keuangan.

Menurut Bambang, jika upaya penguatan Ditjen Pajak melalui penambahan pegawai, memberikan remunerasi tambahan, menambah anggaran serta membenahi organisasi tidak juga mampu memenuhi target penerimaan pajak tahun depan, barulah Pemerintah akan lebih serius merancang pemisahan Ditjen Pajak.

"Saat ini sih rancangan Perpresnya sudah ada, tapi kami belum setuju jadi belum dapat dilaksanakan (pemisahan)," ujar Bambang.

Pada tahun berikutnya, Jokowi kembali berencana membentuk badan khusus penerimaan pajak. Ia telah menyiapkan amanat presiden (Ampres) untuk membentuk Badan Penerimaan Pajak yang terpisah dari Kemenkeu pada 2015. Sayangnya, pemisahan DJP dari Kemenkeu kemudian terganjal oleh DPR karena tidak juga dibahas.

Lewat Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), Badan Penerimaan Pajak (BPP) yang menjadi landasan hukum utama tak kunjung dibahas DPR. Komisi XI yang merupakan mitra kerja Kementerian Keuangan saat itu berkilah, bahwa pembahasan RUU KUP tidak bisa dibahas saat itu, karena masih ada beberapa fraksi yang belum menyampaikan Daftar Inventaris Masalah (DIM).

Pun, saat itu Melchias Markus yang merupakan Ketua Komisi XI DPR mengungkapkan, pemerintah juga masih belum satu suara tentang beberapa hal dalam RUU KUP tersebut, terutama perihal pembentukan Badan Penerimaan Perpajakan (BPP).

Hingga masuk Pilpres 2019, badan itu tak kunjung terbentuk. Akan tetapi, namanya kembali meroket pada saat kampanye karena kembali disinggung oleh calon presiden dan wakil presiden yang bersaing saat itu, yakni Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan Jokowi-Ma'ruf Amin.

Setelah Jokowi-Ma'ruf Amin menang Pilpres pada 2019 dan Sri Mulyani Indrawati menjadi menteri keuangan, Badan Penerimaan Negara (BPN) tak juga terbentuk. Bahkan, Sri Mulyani sendiri yang menekankan tak akan ada pemisahan antara Ditjen Pajak dengan Kemenkeu.

Padahal, pada saat itu, DPR malah tengah semangat merealisasikan pemisahan DJP dari Kemenkeu, sebagaimana langsung disampaikan oleh Ketua DPR yang saat itu dijabat oleh Bambang Soesatyo. Pemisahannya pun dilakukan dengan cara memasukkan DJP ke dalam Badan Penerimaan Negara (BPN) bersama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

"Kami memiliki keinginan untuk selesaikan secepat-cepatnya mudah-mudahan. Sebelum masa jabatan berakhir, BPN sudah bisa terbentuk agar semua program Pak Jokowi 2014 hingga 2019 terwujud," kata Ketua DPR Bambang Seosatyo,

Komisi XI pun mulai melakukan kajian dengan mengacu pada pemisahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Indonesia dan Kejaksaan serta pemisahan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dengan Kementerian Ketenagakerjaan, maupun Badan Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dengan Kementerian Agama.

Anggota Komisi XI DPR Fraksi PDIP Hendrawan Supratikno saat itu mengatakan, pembagian ini dilakukan untuk mengoptimalkan rentang kendali Kementerian Keuangan yang sudah berlebih, serta untuk memaksimalkan pendapatan dengan menekan hambatan atau kendala pada aspek birokrasi.

Sayangnya, saat itu Sri Mulyani memandang tatanan dan tata kelola yang ada saat itu masih bisa dipertahankan.

"Akhirnya dengan pendekatan 'substance over form', SMI (Sri Mulyani Indrawati) menilai tatanan dan tata kelola yang ada saat ini masih bisa dipertahankan," jelas Hendrawan kepada CNBC Indonesia kala itu.

"Itu jawaban SMI, jawaban tersebut dapat ditafsirkan 'menolak secara halus', setidaknya belum dilihat sebagai hal yang mendesak (urgent) untuk dilakukan," kata Hendrawan.

Hingga memasuki masa Pilpres 2024, badan itu tak juga terbentuk meski namanya kembali mengorbit saat masa kampanye.

Tapi, perlu diingat juga bahwa badan ini sudah direncanakan pembentukannya sebelum masa Jokowi, tepatnya pada 2004 saat munculnya surat Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara nomor B/59/M.PAN/1/2004 yang dikirimkan ke meja presiden. Presiden saat itu ialah Megawai Soekarnoputri.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harap Dicatat! Ini Larangan Pegawai Pajak Selama Lebaran

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular