RI Mau Jadi Negara Maju, Modal Ekonomi Tumbuh 5% Cukup Kok!
Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Indonesia ternyata tidak perlu tumbuh 6%-7% untuk menjadi negara maju. Hal ini diungkapkan oleh ekonom senior Raden Pardede yang juga merupakan
Ketua Tim Asistensi Menko Perekonomian, Raden Pardede mengungkapkan Indonesia sebenarnya bisa menjadi negara maju dengan hanya bermodalkan pertumbuhan ekonomi di level 5%. Kuncinya ada pada stabilitas makro ekonomi dan rupiah.
Menurut Raden, level pertumbuhan 5% tersebut harus berkelanjutan dengan kurs rupiah yang terus terjaga di level Rp 15.500-16.000 per dolar AS. Kemudian, pendapatan per kapita masyarakat Indonesia akan bisa naik ke batas minimal kategori negara maju, yakni US$13.850 pada 2034 dari yang saat ini pendapatan per kapita di level US$ 4.580.
"Sebetulnya dengan 5% saja coba kali lah sendiri di situ dengan bunga berbunga secara nominal pertumbuhan kita sebetulnya bisa 8%," kata Raden dalam program Squawk Box CNBC Indonesia, dikutip Kamis (21/12/2023).
"Itu jadi kalau 8% itu bunga ber bunga terus, tumbuh, katakan kalau sekarang US$ 5.300 tahun ini, kemudian dikali 1,08% tahun depan dan seterusnya dikalikan lagi 2034 kita bisa sekitar US$ 13.000 per kapita, jadi itu batas bawah dari middle income trap," tegasnya.
Untuk keluar dari jebakan middle income trap, dia mengingatkan stabilitas makro ekonomi RI terjaga, mulai dari inflasi yang harus terjaga di level 3%, defisit transaksi berjalan tetap rendah di bawah serta defisit APBN juga di bawah 3% untuk menekankan kebutuhan utang.
"Itu (keluar dari middle income trap) harus dengan catatan, inflasi harus dijaga secara disiplin, current account deficit secara disiplin dan budget defisit secara disiplin. Jadi kalau soal hitung-hitungan sebetulnya 5%-5,5% saja cukup asalkan kita menjaga makro stabilitas kita," tegas Raden.
Lebih lanjut, Raden menekankan peluang besar Indonesia bisa terlepas dari middle income trap masih sangat besar, ditandai dengan struktur demografi masih relatif muda dengan median usia di kisaran 31 tahun, namun bila median usia penduduk di kisaran 40 tahun ke atas maka Indonesia akan terjebak di status negara middle income, dan status negara maju hanya menjadi mimpi belaka.
"Karena batas 2035-2040 adalah batas kita harus keluar dari middle income trap, begitu lewat dari batas itu maka partisipasi dari para pekerja kita akan jauh menurun secara terus menerus sehingga produktivitas menjadi berkurang, sesudah kita mulai menua. Jadi memang tidak panjang lagi," tuturnya.
Oleh sebab itu, ia menekankan, ke depan kebijakan ekonomi yang ditempuh tak boleh membuat laju pertumbuhan di bawah 5%, dengan cara wajib menjaga inflasi di bawah 3% untuk menekan biaya hidup, defisit transaksi berjalan di bawah 3% dengan melepas ketergantungan investasi portofolio, serta defisit APBN harus terjaga rendah dengan tingkat utang yang aman.
Selain itu, efisiensi birokrasi menjadi penting untuk menekan biaya investasi, serta mendorong produktivitas dengan cara penguasaan teknologi tinggi di tiap-tiap sumber daya manusianya.
"Sebetulnya pertumbuhan 5% satu modal yang baik bagi kita, tinggal didongkrak dengan kita melakukan efisiensi dan perbaikan alokasi modal, investasi, mungkin 1% tambahan itu kita bisa peroleh. Artinya untuk mencapai 6% minimal sampai 10 tahun ke depan itu bisa," tegas Raden.
Berpacu dengan Waktu
Indonesia selama 30 tahun telah terperangkap dalam jebakan pendapatan menengah atau middle income trap. Oleh karena itu, butuh langkah besar bagi bangsa ini untuk bisa naik kelas lagi menjadi negara berpendapatan tinggi.
Menteri Keuangan era Chatib Basri mengatakan bonus demografi atau usia produktif yang melimpah di Indonesia akan terjadi di 2030. Hal ini, menurutnya, harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Karena bonus ini demografi ini hanya akan bertahan hingga 2050.
"Setelah itu, di 2050 dia mulai naik, jadi setelah 2050 Indonesia masuk secara gradual ke aging population. Jadi, tidak demographic bonus lagi," jelas Chatib kepada CNBC Indonesia beberapa waktu lalu.
"Berarti ruang kita 2030 sampai 2050 itu 27 tahun. Berarti sebelum nanti tua atau banyak aging population, pertumbuhan ekonomi kita harus tumbuh tinggi," kata Chatib.
Berkaca dari Jepang dan Korea Selatan yang juga memiliki masalah mengenai aging population. Saat Jepang dan Korea Selatan masuk ke dalam aging population, income per capita atau pendapatan per kapita kedua negara itu sudah mencapai masing-masing US$ 33.911 dan US$ 32.236.
Sementara di Indonesia, di mana saat ini baru saja ditetapkan oleh Bank Dunia sebagai negara kelas menengah atas, pendapatan per kapitanya baru mencapai US$ 4.580, dihitung berdasarkan Gross National Income (GNI) atau Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per kapita.
"Bayangkan Indonesia kalau kita tumbuh terus sampai 2050, dengan kondisi pertumbuhan ekonomi 5% sampai 6%, pendapatan per kapita kita masih di bawah US$ 30.000," kata Chatib.
"Kalau Jepang sama Korea Selatan yang pendapatan per kapita US$ 30.000 ke atas struggling, apalagi ini. Maka ada risiko Indonesia menjadi tua sebelum kaya. Itu adalah masalah. Pendapatan pajak mulai lambat, karena aging population orang gak kerja dia pajaknya kecil," lanjutnya.
Oleh karena itu, dia menilai Indonesia hanya memiliki tenggat waktu yang sempit. Adapun, cara yang bisa ditempuh adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia harus tumbuh lebih cepat dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi harus 6% sampai 7%.
(haa/haa)