Tak Hanya Mie Instan, RI Harus Jualan Pesawat Agar Maju!

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
Selasa, 21/11/2023 07:25 WIB
Foto: Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa dalam acara Indonesia Emas 2045, Kamis (15/6/2023). (Tangkapan layar Youtube Bappenas RI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia bertekad merombak struktur industri di Indonesia dan mencari produk unggulan berteknologi tinggi asli buatan anak bangsa, supaya bisa lepas dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap, dan menjadi negara maju pada 2045.

Namun, caranya tidak lagi hanya dengan bergantung pada hilirisasi dan mengandalkan produk ekspor utama sektor manufaktur seperti makanan dan minuman maupun produk tekstil, melainkan dengan mengorbitkan produsen barang multikomponen atau kompleks.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menjelaskan, konsep ini akan diusung karena tidak ada satupun negara maju yang mampu berhasil lepas dari middle income trap, hanya mengandalkan produk industri sederhana, seperti produk yang hanya mengisi kebutuhan perut saja.


"Kita punya national brand, tapi kan soal perut, mie instan, dan orang Afrika bahkan pikir itu dia yang punya. Itu yang kita gregetan di situ," kata Suharso di kantornya, Jakarta, seperti dikutip Selasa (21/11/2023).

Suharso mencontohkan, negara-negara yang berhasil lepas dari middle income trap dan menjadi negara maju saat ini, seperti Korea Selatan hingga Jepang, memiliki pengusaha dan industri yang berhasil membuat produk kompleks. Di antaranya, ponsel atau gadget, maupun otomotif dan barang penunjangnya.

Sayangnya, sejak era kemerdekaan pada 1945 hingga saat ini, Indonesia belum memiliki satupun pengusaha atau industri yang mampu menciptakan produk seperti itu, karena bisnis yang dijalankan mayoritas sebatas berdagang, bukan menjadi pembuat barang bernilai tambah tinggi.

Alhasil, kontribusi industri manufaktur Indonesia terus merosot hingga saat ini, di tengah adanya upaya kebijakan hilirisasi di pemerintahan untuk menekan ekspor sumber daya alam mentah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB hanya sebesar 18,75% pada kuartal III-2023, sedangkan pada kuartal III-2013 sebesar 23,11% dan pada 2005 bahkan kontribusinya 27,4%.

"Karena kalau kita lihat entrepreneur kita ya dagang, trader mereka, enggak ada maker, itu enggak ada, sedikit kita maker. Begitu kita dibilang hebat masuk digital, kita hanya bikin apa? platform marketplace, that its, kita enggak bikin produknya," tegas Suharso.

Hilirisasi yang dijalankan pun masih pada tahapan pengolahan sumber daya alam menjadi barang setengah jadi, seperti nikel ore menjadi feronikel. Produk barang setengah jadi itu kini sudah diekspor ke luar negeri padahal belum sampai pada tahapan kemampuan membuat produk akhir yang kompleks seperti baterai mobil listrik bermerek asli Indonesia.

Berdasarkan catatan Kementrian Perindustrian pada 2022, nilai ekspor feronikel mencapai US$ 13,6 miliar, atau melonjak 92% dibandingkan nilai ekspor pada 2021 yang sebesar US$ 7,08 miliar. Adapun untuk komoditas nikel ore atau komoditas mineral mentahannya sudah dilarang ekspornya sejak 1 Januari 2020.

"Tapi terbukti di tempat-tempat nikel yang hebat sekali tingkat pemerataannya rendah, kemudian tingkat lapangan kerja yang terbentuk juga rendah, kompleksitasnya juga rendah, jadi kita enggak mau yang begitu," ucap Suharso.

Mi instan ataupun barang-barang dari tekstil, yang selama ini membuat Indonesia terkenal seperti menjadi produsen kaos dan sepatu bola di Amerika Serikat maupun Inggris, menurut Suharso bukanlah produk kompleks yang bernilai tambah tinggi, karena komponen yang dilibatkan masih minim, yakni hanya benang, kain, ataupun kancing.

Demikian juga dengan produk hasil hilirisasi sumber daya mineral, tak sampai menggunakan multikomponen kompleks yang diproduksi ratusan industri turunan lainnya. Suharso mencontohkan produk kompleks itu seperti televisi yang terdiri dari produk industri lain, yang di antaranya layar, kabel-kabel, tembaga, plastik, hingga panel.

Artinya, satu barang yang diproduksi oleh industri manufaktur itu memiliki memiliki keterkaitan ke belakang atau backward linkage panjang dengan industri lain dan masuk ke dalam rantai pasokan produk yang dipadatkan. Melalui produk kompleks itu maka akan ada lapangan kerja yang banyak dan membutuhkan tenaga kerja terampil.

"Ini yang dimaksud kompleksitas, kalau itu banyak, ratusan, ribuan komponen menjadi satu produk, maka dengan sendirinya banyak lapangan kerja yang terbentuk, akhirnya orang-orang yang cerdas, pintar, harus ikut serta dan mendapat pekerjaan," paparnya.

Oleh sebab itu, Suharso mengatakan, yang bisa membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia melompat menjadi 6% dari selama ini 5%, termasuk mempercepat kenaikan pendapatan per kapita anak bangsanya adalah barang jadi yang kompleks. Ia mengatakan, barang jadi itu sebetulnya sudah banyak didesain sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto dan B.J. Habibie untuk menjadi produk unggulan, salah satunya pesawat terbang.

Makanya, sejak 2020 silam Kementerian PPN/Bappenas menurutnya harus repot-repot menggandeng sejumlah lembaga iptek seperti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan PT Dirgantara Indonesia (Persero) atau PTDI berusaha mengembangkan pesawat N219 versi amfibi. Pemasarannya pun sudah sampai ke Amerika Serikat.

"Mudah-mudahan itu (pesawat N219) bisa menjadi satu produk unggulan, setelah saya datang ke Amerika dan meyakinkan otoritas terkait bahwa ini bisa diproduksi. Itu jadi lucu juga sebetulnya kenapa Bappenas yang promote harusnya PTDI dan K/L lain," ungkap Suharso.



Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 pengembangan industri kedirgantaraan menjadi salah satu industri prioritas yang masuk dalam fokus pengembangan dalam komponen industri berteknologi menengah dan tinggi. Selain itu ada perkapalan, otomotif dan alat angkut, pertahanan, alat kesehatan, produk kimia dan farmasi, mesin dan perlengkapan, elektronik, serta digital.

Dengan metode pengembangan industri ini, Kementerian PPN/Bappenas memperkirakan, rasio PDB industri pengolahan atau kontribusi industri pengolahan terhadap PDB akan bisa lompat menjadi 20,8% pada 2025 dan menjadi 28% pada 2045.

Dengan lapangan pekerjaan berkualitas yang bermunculan dampak peningkatan industrialisasi itu, gross national income (GNI) per kapita atau pendapatan masyarakat per orang dalam RPJPN 2025-2045 akan terus meningkat dari US$ 4.180 pada 2021, US$ 5.500 pada 2025, dan menjadi US$ 23.000-30.300 pada 2045, yang menandakan Indonesia masuk kategori negara berpendapatan tinggi atau negara maju.


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Solusi Bubut dan Milling Baru Diperkenalkan untuk Efisiensi