Israel Makin Gila di Gaza, Kristen Palestina Terancam Punah
Jakarta, CNBC Indonesia - Serangan Israel ke wilayah Gaza telah membawa dampak besar bagi komunitas kristen di wilayah kantong Palestina itu. Bahkan, mereka masuk ke dalam ambang kepunahan.
Ketika bom Israel mulai menghantam jalan-jalan Kota Gaza yang dulunya ramai, Diana Tarazi dan keluarganya melarikan diri ke Gereja Keluarga Kudus, satu-satunya tempat ibadah Katolik Roma di Jalur Gaza.
Perempuan Kristen Palestina berusia 38 tahun, suami dan tiga anaknya berkumpul bersama sesama pengunjung gereja dan tetangga serta teman-teman Muslim, menidurkan anak-anak mereka hingga tertidur lelap di tengah suara bom, menggumamkan kata-kata lembut yang memberi semangat satu sama lain.
"Bersama-sama, kami mencoba melewati perang sampai berakhir dan kami bertahan," kata Tarazi kepada Al Jazeera, dikutip Jumat (10/11/2023).
Rasa aman mereka hancur pada tanggal 19 Oktober, ketika Israel mengebom Gereja Saint Porphyrius, gereja tertua di Gaza, yang terletak di dekatnya, dan menewaskan sedikitnya 18 orang. Tentara Israel mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa gereja tersebut bukanlah sasaran serangan.
"Rudal itu jatuh tepat di atasnya," kata Tarazi tentang situs Ortodoks Yunani itu "kami tidak percaya bahwa gereja bukanlah tujuan mereka".
Dua hari sebelumnya, menurut otoritas kesehatan Palestina, sebuah ledakan di Rumah Sakit Al-Ahli Arab- sebuah institusi Anglikan yang terletak beberapa blok jauhnya- menewaskan dan melukai ratusan orang. Hamas menyalahkan ledakan itu akibat serangan udara Israel sementara Tel Aviv mengklaim ledakan itu disebabkan oleh roket yang tidak berfungsi yang ditembakkan oleh Jihad Islam Palestina, sebuah kelompok bersenjata yang berbasis di Gaza.
Meskipun Kota Gaza dan kamp-kamp pengungsi di dekatnya dikepung oleh pasukan darat Israel dan serangan udara menghantam daerah tersebut, Tarazi menolak untuk pergi.
"Kami tidak menerima pengungsian dari negara kami, tanah kami, dan gereja kami," tegasnya. "Saya tidak akan meninggalkan gereja kecuali ke alam kubur."
Jumlah Kristen Gaza
Dalam laporan Al Jazeera, saat ini ada 1.000 umat Kristen di Gaza. Angka ini turun tajam dari 3.000 orang yang terdaftar pada tahun 2007, ketika Hamas mengambil kendali penuh atas daerah kantong tersebut.
Menurut juru bicara Gereja Saint Porphyrius, Kamel Ayyad, mayoritas penganut Kristen berasal dari Gaza sendiri. Sisanya adalah pengungsi yang melarikan diri ke wilayah itu setelah pembentukan negara Israel, yang menyebabkan sekitar 700.000 warga Palestina mengungsi dalam sebuah peristiwa yang disebut sebagai Nakba yang artinya "bencana".
"Pemerintahan Hamas menerapkan blokade darat, udara dan laut yang dipimpin Israel, sehingga mempercepat pelarian umat Kristen dari daerah kantong yang dilanda kemiskinan tersebut," kata Ayyad.
"Sangat sulit bagi masyarakat untuk tinggal di sini. Banyak orang Kristen berangkat ke Tepi Barat, ke Amerika, Kanada atau dunia Arab, mencari pendidikan dan kesehatan yang lebih baik," tambahnya.
Warga Kristen Gaza sendiri memiliki corak yang unik karena mereka sering mengikuti beberapa aliran kekristenan secara bersamaan. Salah satunya adalah, Fadi Salfiti, yang menghadiri semua gereja.
"Minggu pagi kami pergi ke gereja Ortodoks, sore hari kami ke gereja Katolik, dan malam hari kami ke gereja Protestan," ujarnya.
Sejarah Kristen Gaza
Warisan Kekristenan di Gaza sudah ada sejak masa ketika agama tersebut masih merupakan sekte teraniaya, yang menjanjikan keselamatan bagi mereka yang tertindas. Dalam Alkitab, setelah penyaliban Yesus Kristus, Rasul Filipus melakukan perjalanan melalui jalan gurun dari Yerusalem ke Gaza untuk menyebarkan berita.
Menurut kitab suci, Filipus hadir pada pesta pernikahan di Kana di Galilea. Saat itu, Yesus mengubah air menjadi anggur.
Gereja Saint Porphyrius adalah yang tertua di daerah Gaza. Awalnya didirikan pada abad ke-5 setelah kematian uskup eponymous yang mengubah orang-orang di wilayah itu menjadi Kristen.
Setelah penaklukan Persia pada abad ke-7, gereja tersebut diubah menjadi masjid. Kemudian dibangun kembali oleh Tentara Salib pada abad ke-12.
Umat Kristen Palestina, yang berjumlah 50.000 orang di seluruh wilayah pendudukan, kadang disebut sebagai 'batu hidup'. Ini sebuah metafora yang pertama kali digunakan oleh Murid Yesus, Petrus, untuk menggambarkan peran orang-orang beriman dalam pembangunan rumah rohani Tuhan.
Saat ini, istilah tersebut mengacu pada status khusus mereka. Mereka kerap dianggap sebagai pemelihara agama yang lahir di tanah itu.
(sef/sef)