Internasional

Tetangga RI Terjerat 'Jebakan' Utang China, Begini Nasibnya

luc, CNBC Indonesia
Jumat, 10/11/2023 11:17 WIB
Foto: Peresmian proyek kereta cepat Laos-China. (AP/Hu Chao)

Jakarta, CNBC Indonesia - 'Jebakan' utang China terus memakan korban. Terbaru, Laos dilanda krisis setelah kesulitan membayar utang dari Negeri Panda.

Hal ini tidak terjadi dalam semalam, tetapi merupakan akumulasi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini pun meningkatkan kekhawatiran mengenai kewajiban negara kecil ini terhadap kreditor terbesarnya tersebut.

China menjadi investor asing terbesar di Laos pada akhir tahun 2013 dan sejak itu, pengaruhnya terus meroket.


Mayoritas utang publik Laos, yang menurut perkiraan IMF sebesar 122% dari PDB pada tahun ini, berasal dari Beijing karena kesepakatan infrastruktur di bawah Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) China.

Laos meminjam miliaran dolar dari pemerintahan Presiden Xi Jinping untuk membiayai jalur kereta api, jalan raya, dan bendungan pembangkit listrik tenaga air, sehingga menghabiskan cadangan devisa negara tersebut.

Dikombinasikan dengan kenaikan harga pangan dan bahan bakar di seluruh dunia, ditambah krisis mata uang - kip Laos telah terdepresiasi hingga mencapai rekor terendah terhadap dolar AS, sehingga memicu melonjaknya inflasi.

Negara ini dikhawatirkan akan berada di ambang kehancuran ekonomi jika krisis ekonomi tidak terkendali.

Sebagai tanggapannya, pemerintah telah menerapkan beberapa langkah stabilitas, termasuk kenaikan suku bunga, penerbitan obligasi, dan kerja sama dengan Bank Pembangunan Asia dalam praktik pengelolaan utang. Hal ini juga mengurangi pengeluaran untuk layanan penting seperti pendidikan dan layanan kesehatan.

Namun tanpa kesepakatan pengurangan utang yang jelas dengan China, kesulitan keuangan Laos kemungkinan besar tidak akan mereda.

"Laos harus menegosiasikan perlakuan utang di muka dengan China, seperti pengurangan utang dalam nilai bersih sekarang, untuk memungkinkan Laos memenuhi kewajiban pembayaran utang secara berkelanjutan," kata Toshiro Nishizawa, profesor di Universitas Tokyo yang berfokus pada kebijakan ekonomi, dikutip dari CNBC International, Jumat (10/11/2023).

Ia menambahkan perpanjangan periode pembayaran dan penurunan suku bunga merupakan salah satu pilihan, begitu pula pendekatan yang berpusat pada iklim seperti pertukaran utang untuk iklim, yang akan mengharuskan Laos berkomitmen terhadap kebijakan lingkungan hidup dengan imbalan pengurangan utang.

Bantuan Jangka Pendek

China memberikan keringanan utang jangka pendek yang signifikan kepada Laos dari tahun 2020 hingga 2022, dengan memberikan "keringanan sementara," kata Bank Dunia yang memperkirakan bahwa pembayaran yang ditangguhkan selama tiga tahun tersebut mencapai sekitar 8% dari PDB Laos pada 2022. Namun 'kemurahan hati' negara dengan kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia tersebut tak bertahan lama.

"Mengingat pendekatan yang telah diambil China sebelumnya, Tiongkok mungkin menawarkan bantuan jangka pendek, tetapi hanya itu saja," kata Mariza Cooray, peneliti dan ekonom senior di Pusat Pembangunan Indo-Pasifik Lowy Institute, dalam laporan yang diterbitkan awal tahun ini.

"Seperti halnya Sri Lanka dan Zambia, China juga sejauh ini tidak bersedia mengurangi utangnya, meskipun ada tanda-tanda jelas bahwa hal ini pada akhirnya akan diperlukan dan demi keuntungan semua orang," tulisnya, seraya menambahkan bahwa "China perlu berbuat lebih banyak untuk Laos, dan lakukan dengan cepat."

Adapun hubungan China-Laos yang kuat membantu posisi Beijing di Asia Tenggara seiring dengan meningkatnya pengaruh Washington di Indo-Pasifik. Ikatan sosialis yang sama antara China dan Laos adalah faktor lainnya.

Selain itu, "Bank-bank China tidak ingin menjadi kreditor yang dibebani dengan aset-aset bermasalah, dan China juga tidak ingin terlihat seperti pemberi pinjaman yang tidak dapat diandalkan bagi negara-negara berkembang," kata Nishizawa. "China tidak mau dan tidak bisa membiarkan Laos gagal bayar."

Jebakan Utang

Beberapa laporan media telah memperingatkan akan adanya apa yang disebut jebakan utang - sebuah skenario di mana Beijing akan menyita aset-aset infrastruktur yang berharga di Laos - jika negara tersebut mengalami gagal bayar atau tidak mampu membayar tepat waktu.

Kekhawatiran meningkat setelah perusahaan energi milik negara Électricité du Laos, yang menyumbang sekitar 37% utang luar negeri Laos, menandatangani perjanjian konsesi 25 tahun dengan China Southern Power Grid pada tahun 2021. Kesepakatan tersebut memberi BUMN China kepemilikan mayoritas dan hak untuk mengekspor listrik Laos ke luar negeri.

Namun beberapa ahli telah membantah kekhawatiran akan diplomasi jebakan utang China di negara-negara BRI.

Peneliti Deborah Brautigam dari China Africa Research Initiative (CARI) Johns Hopkins dan Meg Rithmire dari Harvard Business School menunjukkan bahwa Sri Lanka, misalnya, mempunyai lebih banyak utang kepada Jepang, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia dibandingkan dengan China.

"Ketika tekanan utang melanda, kami tidak melihat bank-bank China melakukan upaya 'penyitaan aset', dan sejauh ini, tidak ada kasus arbitrase internasional atau keterlibatan pengadilan di Afrika," tulis CARI dalam makalah penelitiannya pada tahun 2020.

"Sebaliknya, para pejabat China mencoba mengembangkan solusi yang dirancang khusus untuk mengatasi keberlanjutan utang (dan pembangunan), kasus per kasus," kata mereka.

Pada akhirnya, Laos harus melakukan diversifikasi investasi asing, namun mengingat gejolak ekonomi yang terjadi, hal ini akan sulit dicapai tanpa kesepakatan restrukturisasi utang.

"Keberhasilan dalam renegosiasi utang yang sedang berlangsung akan sangat penting," kata Pedro Martins, ekonom senior di kantor Bank Dunia di Laos, merujuk tidak hanya pada China tetapi juga semua kreditor Laos, yang mencakup lembaga-lembaga keuangan besar.


(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Bayar Utang Lancar, Kenapa Ekonomi RI Dibilang Rawan?