Mau RI Maju? Kesalahan Ini Harus Dibereskan Presiden Baru!

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
30 October 2023 18:00
Anggaran Pendidikan Meroket Terus, Lari Kemana Saja?
Foto: Infografis/Anggaran Pendidikan Meroket Terus, Lari Kemana Saja?/ Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto, salah satu penulis dalam White Paper Dari LPEM Bagi Indonesia: Agenda Ekonomi dan Masyarakat 2024-2029, mengungkapkan sejumlah aspek yang perlu pemerintah pengganti Presiden Joko Widodo lakukan bila ingin memastikan Indonesia menjadi negara maju.

Sebelumnya, ia mengungkapkan besarnya potensi Indonesia gagal menjadi negara maju pada 100 tahun kemerdekaan Indonesia, yakni 2045 karena kinerja perekonomian stagnan selama dua dekade terakhir, seperti pertumbuhan ekonomi yang rata-rata hanya berada pada kisaran 5%, akibat rendahnya produktivitas masyarakat Indonesia.

Salah satu pemicu pertama menurut Teguh adalah investasi di bidang pendidikan masyarakat yang terbukti tak membuat pendidikan masyarakat berkualitas, karena hanya fokus memberikan akses pendidikan. Tercermin dari data OECD pada 2019 yang menunjukkan hanya sekitar 28-40% siswa usia 15 tahun mampu melewati batas minimum kemampuan matematika.

World Bank pada 2023 pun melaporkan, siswa Kelas 4 di Indonesia kehilangan kemampuan matematika setara dengan 11,2 bulan dan kemampuan bahasa sebesar 10,8 bulan dibandingkan dengan siswa Kelas 4 pada 2019. Siswa dari rumah tangga miskin lebih terpukul dengan kehilangan belajar sebanyak 18,1 dan 27,2 bulan dalam matematika dan bahasa, yang menyebabkan ketimpangan dalam hasil belajar yang semakin melebar.

"Karena saat ini yang selalu didorong pemerintah masih fokus ke akses pendidikan, bukan akses pendidikan berkualitas, sehingga anak-anak kita itu banyak yang sekolah tapi belum tentu belajar," kata Teguh dalam program Profit CNBC Indonesia, Senin (30/10/2023).

Oleh sebab itu, hal utama yang perlu dilakukan kata Teguh adalah pemerintah harus fokus untuk menyiapkan secara sungguh-sungguh mempromosikan learning bukan schooling, mencetak kualitas lulusan yang relevan dengan kebutuhan dunia usaha, kerja, industri dan kebutuhan masyarakat, pemerataan akses dan kualitas pendidikan bagi seluruh anak bangsa.

"Artinya memang investasi di dunia pendidikan ini kan investasi jangka panjang dan rata-rata politisi selalu inginnya quick win, artinya kalau saya bahwa tetap perlu ada komitmen luar biasa dari pemerintah bahwa pendidikan ini mesti seperti extra ordinary case, sehingga perlu ada upaya serius dan fokus meningkatkan kualitas pendidikan SDM kita," tegas Teguh.

Selain soal pendidikan, Teguh mengatakan, pemerintah mendatang juga harus berani menciptakan lapangan pekerjaan formal bagi masyarakat Indonesia. Artinya, pekerjaan itu tak lagi mengandalkan tenaga kerja murah dan menghasilkan produksi bernilai tambah tinggi.

"Saat ini 63% lapangan pekerjaan kita atau pekerjaan para kerja kita itu di sektor informal. Itu produktivitasnya rendah, sangat rentan dan juga mereka tidak punya perlindungan sosial, sehingga menurut saya negara harus mendorong penciptaan lapangan kerja formal," ucap Teguh.

Ia mengungkapkan, kondisi ini tercermin dari salah satu indikator penting untuk menjadi negara berpendapatan tinggi, yakni rasio persentase ekspor barang teknologi tinggi dibandingkan persentase ekspor manufaktur. Indonesia pada 2021 memiliki rasio terendah yakni 7,2% dibandingkan dengan negara-negara lain ketika pertama kali masuk dalam status negara berpendapatan menengah tinggi atau upper middle income countries.

China misalnya, saat memasuki masa menjadi upper middle income countries, persentase ekspor barang teknologi tinggi dibandingkan persentase ekspor manufaktur telah mencapai 32,12% pada 2010, Thailand 26,27% pada 2010, Brasil 12,59% pada 2006, dan Malaysia bahkan telah jauh sebesar 50,86% pada 2009.

"Tapi kalau kita andalkan buruh murah, kita akan kalah dengan negara-negara lain seperti Bangladesh, Vietnam, Kamboja yang mereka juga menggunakan strategi buruh murah. Sehingga kita harus naik kelas dari sisi produksi komposisi ekspor yang bukan didominasi SDA, tapi benar-benar yang sifatnya high tech," tutur Teguh.

Bila pemerintah belum mampu menciptakan lapangan pekerjaan formal bagi masyarakat Indonesia, Teguh menyarankan supaya pemerintah terlebih dahulu memastikan penyediaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bagi pekerja informal di Indonesia.

Ia menganggap, pemberian bantuan iuran JKK dan JKM untuk 40% terbawah pekerja informal dan rentan atau sekitar 26,8 juta pekerja membutuhkan biaya sekitar Rp. 5,4 trilliun per tahun. Kepemilikan JKK akan menyelamatkan sekitar 13-32 ribu orang tidak jatuh miskin serta menjaga 40-76 ribu orang miskin tidak semakin miskin akibat kecelakaan kerja.

"Maka negara harus beri perlindungan ke pekerja informal sehingga mereka bisa kerja keras tanpa cemas. Salah satu quick win yang bisa kita berikan adalah jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian sehingga pekerja informal ini bisa bekerja tenang dan kalau ada apa-apa keluarga ada yang menanggung," ungkapnya.

Teguh pun menekankan, pemerintah Indonesia harus semakin mempromosikan kesetaraan kesempatan untuk akses pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, pekerjaan formal, infrastruktur dasar, dan jaminan sosial menyeluruh dan adaptif yang merupakan modal utama dan satu-satunya untuk mewujudkan mimpi Indonesia Emas 2045. Tanpa itu semuanya, mimpi Indonesia Emas 2045 menurutnya hanya akan menjadi Indonesia Cemas 2045.

Dalam white paper itu, Teguh juga menekankan pentingnya narasi keberlanjutan kebijakan Presiden Jokowi dipikirkan ulang oleh para Capres dan Cawapres 2024 terkait dua aspek itu, karena akan menjauhkan mimpi Indonesia Emas 2045 atau Indonesia Maju. Pengembangan kelas menengah yang kuat dan inovatif menurutnya adalah motor utama pembangunan jangka panjang.

Teguh berpendapat, pertumbuhan ekonomi pada periode pertama Presiden Joko Widodo memang bersifat inklusif, sedangkan pertumbuhan ekonomi di periode kedua bersifat non-inklusif dimana program pemerintah terfokus pada 20% persen kelompok terbawah dan 10% kelompok teratas tetapi melupakan kelompok kelas menengah yang sebesar 40-80% dari total penduduk.

"Kalau pemerintah, saya tegaskan sekali lagi, ke depan hanya ingin melanjutkan apa yang ada saat ini tanpa adanya inovasi baru, out of the box dari kebijakan, saya rasa sulit Indonesia menjadi negara maju. Oleh karena itu, perlu ada inovasi terkait kebijakan Indonesia masa depan sehingga Indonesia bisa negara maju," ucap Teguh.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ngeri! Begini Nasib RI Kalau Gagal Jadi Negara Maju

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular