
Alasan RI Bisa Gagal Jadi Negara Maju: Ekonomi Gini-gini Saja

Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga Penyelidikan Ekonomi & Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia terbilang stagnan di kisaran 5% dalam dua dekade terakhir. Menyebabkan peluang Indonesia bisa menjadi negara maju pada 2045 gagal.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya di level 4,9% pada 2003, meski sempat naik 6,9% pada 2007. Pada 2013, kembali menyusut dan menjadi hanya tumbuh 5,78% hingga akhirnya pada 2014 tumbuhnya hanya 5,01%.
Selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, pertumbuhan ekonomi pun terus stagnan di kisaran 5%. Bahkan, catatan pertumbuhan tertinggi hanya terjadi di level 5,31% pada 2022. Pertumbuhan ekonomi hingga kuartal II-2023 pun hanya sebesar 5,17% secara tahunan atau year on year (yoy).
Direktur LPEM FEB UI, Chaikal Nuryakin mengatakan, selain pertumbuhan ekonomi yang tak berkembang, perlu dicatat juga bahwa pertumbuhan kredit per tahun pun tak pernah tembus 15%, rasio pajak terhadap PDB tak pernah melampaui 11% dan bahkan hanya 9,9% satu dekade terakhir, hingga kontribusi industri terhadap PDB yang terus merosot hingga kini di level 18% dan kemiskinan ekstrem yang persisten di level 1,7%.
"Jadi bisa disimpulkan bahwa sepertinya pembangunan ekonomi kita seperti membentur atap kaca. It seemes that we hit a glass ceiling every where, dari sistem keuangan, dari penduduk yang miskin, dari rasio pajak dan sebagainya," kata Chaikal saat meluncurkan White Paper bertajuk Dari LPEM bagi Indonesia: Agenda Ekonomi dan Masyarakat 2024-2029, Jakarta, Jumat (27/10/2023).
Menurut Chaikal, ada sejumlah persoalan yang membuat kondisi ekonomi Indonesia seperti ini selama 20 tahun terakhir. Misalnya ialah Indonesia masih menjadi negara produsen bahan baku mentah dan sebagian besar sebagai konsumen barang dan jasa. Bahkan, sebagai sebuah bangsa, Indonesia ditegaskannya menjadi konsumen tidak hanya barang dan jasa berteknologi tinggi, melainkan juga berteknologi rendah.
Tapi, ia mengakui perdagangan dunia yang ideal tidak memerlukan suatu negara seperti Indonesia bisa memproduksi semua barang, masalahnya Indonesia juga tidak secara signifikan terlibat dalam proses rantai nilai global. Bahkan, digitalisasi ekonomi yang berkembang juga menempatkan Indonesia sebagai konsumen teknologi.
"Seperti plastik, sereal, produk fesyen, kita juga menjadi konsumen dari produk yang berteknologi rendah," ucap Chaikal.
"Dalam dunia digital, Indonesia terkenal sebagai salah satu negara pengguna media sosial terbesar, dan sekali lagi untuk peggunaan yang kurang produktif," tegasnya.
Oleh sebab itu, jika Indonesia mau bisa merealisasikan mimpi untuk menjadi Indonesia Maju 2045, Chaikal menekankan pemerintah mendatang bisa mencontoh negara-negara berkembang yang berhasil menjadi negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, hingga negara-negara Skandinavia. Mereka menurutnya bisa maju dengan cara meningkatkan kapasitas riset dan inovasi atau R&D serta fokus memajukan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Sebagai catatan, dua pasangan calon presiden dan wakil presiden peserta Pilpres 2024, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo.
Anies-Muhaimin menargetkan jika menang Pilpres 2024 akan membawa ekonomi Indonesia tumbuh 5,5-6,5% pada periode 2025-2029, sedangkan pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD menjanjikan pertumbuhan ekonomi rata-rata di level 7%.
Sementara itu, Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka tidak mencatumkan angka target pertumbuhan ekonomi. Keduanya memilih mendorong penciptaan sumber-sumber
pertumbuhan ekonomi baru, termasuk pariwisata, ekonomi kreatif, ekonomi digital, usaha rintisan, industri syariah, dan maritim berbasis komunitas.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Momen Langka, Jokowi, Sri Mulyani & Airlangga Semeja dan Berbagi Tawa