Soal Kemiskinan, Janji Anies-Ganjar-Prabowo Masuk Akal?

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
Kamis, 26/10/2023 15:45 WIB
Foto: Cover Topik Pemilu

Jakarta, CNBC Indonesia - Tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pilpres 2024 telah menargetkan bisa mengurangi angka kemiskinan secara signifikan hingga di bawah 9% pada akhir masa kepemimpinannya pada 2029.

Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar misalnya menargetkan mampu menurunkan angka kemiskinan ke level 4%-5% hingga 2029, Ganjar Pranowo-Mahfud MD di level 2,5% pada 2029, dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di level 6% pada akhir 2029.


Kalangan akademisi pun menganggap, target yang ketiga pasangan calon itu patok jauh di bawah tren persentase kemiskinan Indonesia selama ini yang bertengger di level 9,22% pada September 2019, 10,19% pada September 2020, 9,71% pada September 2021, 9,57% pada September 2022.

Lantas, manakah yang paling realistis?

Ekonom Universitas Diponegoro Wahyu Widodo mengatakan, karena ketiganya memiliki target penurunan kemiskinan yang sangat signifikan, maka yang harus dilihat adalah program kerja ketiga capres-cawapres itu yang mampu memberikan kepastian penguatan reformasi pendataan orang miskin.

Program ini menurutnya penting karena dalam mengentas kemiskinan di Indonesia bukan seberapa besar anggaran perlindungan sosial yang disediakan, melainkan seberapa tepat sasaran dana bantuan tersebut diberikan, sebelum nantinya memberikan program penguatan keterampilan dan produktivitasnya.

"Kalau saya lihat hasil assessment Bappenas 2019 mengatakan jika ketepatan sasaran Perlinsos sampai 90% itu kemiskinan Indonesia sudah 4%, tidak perlu di top up anggaran. Nah ini penting untuk dicatat apa yang mereka tawarkan untuk menyelesaikan kemiskinan itu," kata Wahyu kepada CNBC Indonesia, Kamis (26/10/2023).

"Kalau menambah anggaran ya percuma anggarannya untuk apa. Yang perlu direformasi dari sisi kelembagaan itu terkait dengan data," ungkap Wahyu.

Sementara itu, Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai, realistis atau tidaknya target penurunan kemiskinan itu juga harus dilihat dari kemampuan untuk membuat kebijakan baru dari sisi pengembangan ekonomi masyarakat bawah. Tidak lagi mengusung konsep growth with equity.

Konsep itu menurutnya mengusung konsep upaya memajukan ekonomi kalangan atas terlebih dahulu untuk memperoleh penerimaan pajak yang banyak. Barulah pajak itu akan digunakan untuk membiayai program perlindungan sosial demi menjaga daya beli masyarakat bawah.

"Jadi ada trickle down effect, yang itu berharap memberi kesejahteraan atau memberantas kemiskinan. Kalau pendekatannya masih seperti itu, masih menganggap bahwa bansos menjadi rujukan untuk mengatasi kemiskinan maka saya kira target di bawah 9% sulit dicapai," ujar Achmad.

Menurutnya, ada satu capres yang memiliki program kerja baru dan tidak mengusung prinsip pengentasan kemiskinan seperti growth with equity, melainkan growth through equity. Pasangan calon itu ialah Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar.

"Dia menjadikan kesetaraan atau keadilan itu sebagai prasyarat untuk pertumbuhan. Jadi dia sasar dulu ekonomi-ekonomi yang memang saat ini punya potensial tumbuh tapi belum dikembangkan tanpa kemudian menghalangi yang sudah tumbuh untuk tumbuh lebih baik," tegas Anies.

Karena konsep kesetaraan menjadi prasyarat dari pengentasan kemiskinan itu, maka ia menekankan bahwa otomatis perbaikan data menjadi acuan utama yang akan diperkuat dan diperbaiki.

Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Junarsin menambahkan, penting juga dicatat bahwa program-program terkait itu juga tetap perlu berisi perbaikan iklim investasi. Investasi menurutnya menjadi salah satu faktor untuk mendorong Indonesia terlepas juga dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap.

Dengan demikian, harus diperhatikan pula bagi capres-cawapres yang berlaga pada Pilpres 2024 untuk menelurkan visi, misi dan program kerja yang mampu memperkuat iklim investasi di Indonesia, termasuk salah satunya keberanian untuk penurunan tarif pajak sambil memperkuat ekstensifikasi dan intensifikasi demi mendorong geliat usaha.

"Investasi yang iklimnya bagus akan menjadi daya tarik talenta bagus. Jadi kalau iklim sosialnya, iklim politik, iklim kerjanya bagus, banyak talenta bagus banyak tertarik ke Indonesia, mereka akan menghasilkan teknologi. Jadi itu sesuatu yang berangkai," ucap Eddy.


(mij/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: APBN Mei 2025 Defisit Rp 21T, Menkeu Klaim Masih Kecil