Sri Mulyani Ungkap Kondisi AS, China & Eropa Bikin Susah RI
Jakarta, CNCB Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan risiko ketidakpastian global meningkat. Hal ini memicu prospek pertumbuhan ekonomi global melemah dan volatilitas pasar keuangan meningkat.
Setidaknya, ada tiga sumber ketidakpastian global saat ini. Pertama adalah kenaikan imbal hasil surat utang AS atau US Treasury 10 tahun.
"Surat berharga negara AS maturity 10 tahun mengalami lonjakan yield hingga di atas 5%. Ini pertama kali sejak 2007," kata Sri Mulyani, dalam paparan APBN Kita edisi Oktober 2023, Rabu (25/10/2023).
Ini artinya AS harus membayar lebih tinggi untuk meminjam melalui SBN tenor 10 tahun. Kondisi ini dipicu oleh kenaikan suku bunga Fed Fund Rate. Padahal AS biasanya memiliki suku bunga rendah sjeakk global financial crisis, yakni di kisaran 0,25 basis points (bps) atau 0,25%.
"Inilah yang kami sampaikan tantangan bergeser kalau dulu kita ngomongin pandemi, geopolitik masih, tapi sekarang muncul dalam bentuk volatilitas di pasar keuangan terutama AS yang semakin tidak predictable," ungkapnya.
Kondisi ini mempengaruhi gejolak di pasar keuangan dunia, termasuk Indonesia. Menurut Sri Mulyani kondisi ini patut diwaspadai karena mempengaruhi nilai tukar, inflasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Karena volatilitas atau gejolak pasar keuangan ini mememiliki dampak ke sektor riil," tegasnya.
Kedua, China mengalami pertumbuhan ekonomi yang melambat. Seperti diketahui, China mengalami krisis properti. Sebanyak, 50 perusahaan properti China mengalami default alias gagal bayar.
Sri Mulyani mengungkapkan kondisi China ini perlu diwaspadai. Pasalnya China merupakan mitra dagang utama Indonesia.
"Ini berati akan mempengaruhi Indonesia karena perekonomian RRT sebagai ekonomi terbesar kedua dunia itu menjadi motor pertumbuhan ekspor dari banyak negara termasuk Indonesia," ujar Sri Mulyani.
Ketiga, Sri Mulyani mengatakan Eropa tengah mengalami tekanan yang berat. Inflasi Eropa masih tinggi, sementara perang Ukraina dan Rusia belum juga usai.
Kondisi geopolitik ini semakin dibebani oleh perang Israel dan Palestina yang memicu kenaikan harga minyak. Alhasil, European Central Bank (ECB) cenderung hawkish atau keras dalam menetukan kebijakan suku bunganya.
"Ini akan mengancam perekonomian Eropa yang bakal masuk zona resesi," tegas Sri Mulyani. Ketiga risiko ini masuk ke dalam pantauan Kementerian Keuangan saat ini.
(haa/haa)