Nasib Orang RI Kini: Gaji Tetap, Jajan Naik, Utang Menumpuk

Jakarta, CNBC Indonesia - Tren kenaikan suku bunga mulai masuk ke Indonesia, setelah Bank Indonesia menaikkan bunga acuan BI-7 day reverse repo rate sebesar 25 basis points menjadi 6% pada 19 Oktober 2023. Kondisi ini berpotensi memperlambat laju pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Ekonom senior yang juga merupakan mantan menteri keuangan Chatib Basri menjelaskan, kenaikan suku bunga acuan tentu akan mengerek bunga kredit masyarakat. Membuat beban pengeluaran atau belanja semakin tinggi di tengah stagnannya pendapatan masyarakat.
"Pasti lebih mahal. Sementara wallet kamu kan tetap, duit tabungan tetap. Kalau beban dari household-nya naik, maka akibatnya apa, konsumsinya akan slowdown," kata Chatib kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin (22/10/2023).
Menurunnya geliat konsumsi masyarakat sebetuknya mulai tercermin dari melemahnya indeks keyakinan konsumen (IKK) pada September 2023. Pada bulan itu, IKK yang dirilis BI secara rutin berada di level 121,7 atau turun dari catatan angka indeks pada Agustus 2023 di level 125,2.
Meski begitu, data IKK terakhir itu masih masuk ke level optimis karena angka indeks di atas level 100. Seiring dengan itu, rasio tabungan seluruh kelompok pengeluaran, mulai dari yang bergaji tinggi hingga pas-pasan seluruhnya berkurang.
Bank Indonesia mencatat, untuk kelompok pengeluaran di atas Rp 5 juta rasio tabungannya telah turun dari 18,6 menjadi 18,3. Penurunan terdalam kelompok pengeluaran Rp 4,1-5 juta dari 17,9 menjadi 16,6, dan kelompok Rp 1-2 juta turun dari 15,5 ke 15,1.
Fenomena ini menurut Chatib telah menandakan adanya implikasi dari beban suku bunga terhadap tabungan masyarakat. Artinya, mereka tetap mempertahankan konsumsi, namun dengan mengambil porsi tabungan ataupun mengambil utang baru.
"Jadi kalau kemudian orang mempertahankan konsumsi savingnya turun dia udah mulai mantab, makan tabungan. Atau opsi lain adalah kalau yang kelas menengah, credit card tuh nanti naik. Dia akan belanja tapi belanjanya melalui utang," tutur Chatib.
Survei perbankan Bank Indonesia per kuartal III-2023 pun juga telah mencatat adanya peningkatan penyaluran kredit konsumsi. Saldo bersih tertimbang (SBT) untuk penyaluran kredit konsumsi baru pada periode itu mencapai 91,2%, naik dari kuartal II-2023 sebesar 85,3%.
"Bayangin konsumsinya naik, sementara pendapatannya tetap, berarti yang dia lakuin apa, dia makan tabungan kan. Nah kalau dia makan tabungan seberapa lama akan tahan. Pilihannya cuma dua, dia ngutang atau nanti setelah quarter ke depan, konsumsinya akan turun," ujar Chatib.
Kendati begitu, Kepala Ekonom Bank Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya Indrastomo menilai, tren suku bunga tinggi ini tidak langsung berdampak pada golongan masyarakat bawah, mengingat pemerintah dan Bank Indonesia masih mampu mengendalikan inflasi di kisaran sasara 2-4%.
"Namun, di sisi lain, dampak perlambatan ekonomi di jangka panjang akibat dari suku bunga yang tinggi, dapat memengaruhi spending mereka melalui peningkatan saving bagi masyarakat menengah ke atas yang membuat tertahannya perkembangan sektor riil, sehingga transaksi dan multiplier ke masyarakat bawah juga menurun," ucap Banjaran.
Menurutnya, dampak langsung dari tren suku bunga tinggi saat ini akan lebih berdampak pada kinerja sektor riil. Sebab, sumber pembiayaan mereka akan semakin tinggi. Namun, BI telah mengeluarkan instrumen Makroprudensial (KLM) dan menurunkan rasio Penyangga Likuiditas makroprudensial (PLM) untuk mengantisipasi persoalan itu dan untuk mendukung pembiayaan bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
"Tapi, kenaikan BI7DRR berpotensi membuat pertumbuhan sektor riil relatif tertahan seiring dengan potensi naiknya biaya pembiayaan yang menjadi sumber investasi dan penggerak bagi sektor riil. Melihat potensi dampak tersebut, Bank Indonesia coba menyiasati dengan mengeluarkan jamu manis itu," tegas Banjaran.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Sukses Kontrol Inflasi, Tapi Rakyat Mulai 'Makan Tabungan'
