Chatib Basri Ramal Arah Suku Bunga BI ke Depan, Simak!

Rosseno Aji Nugroho, CNBC Indonesia
23 October 2023 07:50
Menteri Keuangan periode 2013-2014, Chatib Basri. (CNBC Indonesia/Efrem Siregar)
Foto: Menteri Keuangan periode 2013-2014, Chatib Basri. (CNBC Indonesia/Efrem Siregar)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Chatib Basri buka suara mengenai arah suku bunga acuan Bank Indonesia ke depan. Dia mengatakan Bank Indonesia masih memiliki ruang untuk mengambil kebijakan mempertahankan suku bunga saat ini.

"Kenapa saya bilang ada ruang itu, karena mata uang lain juga terdepresiasi melawan US dollar kan," kata dia dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, dikutip Senin (22/10/2023).

BI sendiri baru saja menaikkan suku bunga acuan pada Oktober 2023. Kini BI 7 days reverse repo rate (BI7DRRR) berada di level 6%. Suku bunga Deposit Facility juga naik menjadi 5,25%, dan suku bunga Lending Facility menjadi 6,75%.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan kenaikan ini bertujuan untuk memperkuat kebijakan stabilitas nilai tukar Rupiah dan untuk memitigasi dampak terhadap inflasi barang impor ke Indonesia.

"Untuk itu, BI terus perkuat bauran kebijakan moneter dan penguatan sinergi pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan inflasi tetap terkendali sesuai sasaran 3% plus minus 1% 2023 dan 2,5 plus minus 1% pada 2024," kata Perry.

Kenaikan ini merupakan yang pertama kali, sejak BI terus mempertahankan suku bunga acuan di angka 5,75% sejak Januari 2023.

Chatib Basri menilai keputusan BI menaikkan suku bunga sebesar 25 basis points tersebut untuk saat ini sudah tepat. Dia menilai BI tidak mungkin terus-menerus melakukan intervensi di forex market untuk menjaga nilai tukar, sebab akan menggerus cadangan devisa.

"Dengan begitu membuat likuiditasnya tidak terlalu ketat ketimbang melakukan intervensi terus," kata dia.

Ekonom senior dari Universitas Indonesia itu menilai BI bisa saja mempertahankan suku bunga 6% tersebut untuk beberapa waktu ke depan.

Dia mengatakan apabila melihat kondisi mata uang negara lain, performa Rupiah sebenarnya cukup baik. "Kalau depresiasi Rupiahnya lebih kecil dibandingkan mata uang lain, sebetulnya kita menguat terhadap mata uang lain kan," kata dia.

Dia mengatakan untuk pertimbangan lainnya, apabila merujuk pada data proyeksi 12 bulan ke depan, Rupiah diprediksi belum akan menyentuh level Rp 16.000.

"Jadi kalau menurut saya ruang untuk depresiasi itu ada, jika BI tidak mau menaikkan suku bunga."

Meski demikian, Chatib mengatakan terdapat kondisi global yang perlu diperhatikan, yakni perang Hamas-Israel. Dia mengkhawatirkan perang tersebut akan menyebabkan harga minyak dunia terkerek naik. Bila harga minyak terus naik, maka nilai impor Indonesia bisa membengkak yang pada akhirnya menambah tekanan terhadap nilai tukar Rupiah.

Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memprediksi sampai akhir Oktober Rupiah masih akan berada dalam tekanan. Beberapa faktor global akan menjadi penyebab utama Rupiah cenderung terdepresiasi, seperti pasar tenaga kerja Amerika Serikat yang menunjukkan resiliensi sehingga tingkat inflasi AS akan tetap berada di atas 2%.

Dia mengatakan konflik Hamas-Israel juga mendorong kenaikan harga minyak yang berujung pada ekspektasi semakin sulitnya inflasi global untuk turun.

"Hal tersebut menyebabkan risiko 'higher-for-longer' meningkat, dengan ruang kenaikan suku bunga kebijakan the Fed masih akan terbuka di sisa tahun ini. Kondisi ini akan memicu sentimen risk-off investor dan mengalihkan dananya ke aset safe-haven. Kami melihat Rupiah sampai akhir Oktober 2023 dapat berada pada rentang 15.700 - 15.900 per USD," kata dia.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article BI Maju Mundur Kena, Rupiah Bisa Semakin Tertekan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular