
Kemenkeu Tegaskan Kondisi Sulawesi Selatan Bukan 'Bangkrut'!

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Luky Alfirman membantah Pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan tengah mengalami kebangkrutan karena defisit Rp 1,5 triliun, sebagaimana yang diklaim Pj Gubernur Sulawesi Selatan Bahtiar Baharuddin.
Kendati begitu, Luky irit bicara menjelaskan lebih jauh kondisi keuangan atau anggaran Pemprov Sulsel. Dia hanya mau menekankan kondisi keuangan Pemprov Sulsel tak seperti yang disampaikan penjabat gubernur daerah itu.
"Sebenarnya enggak seperti itu, tapi nanti lah kita terangkan," kata Luky saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).
Menurut Luky, kondisi keuangan daerah yang tengah dalam defisit masih bisa memperoleh pembiayaan. Salah satunya adalah memanfaatkan sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya.
Di sisi lain, dia memastikan pemerintah juga terus memberikan alokasi transfer ke daerah atau TKD dari APBN tiap tahunnya ke seluruh daerah di Indonesia yang jumlahnya mencapai 546 daerah. Tahun ini, anggaran TKD mencapai Rp 830 triliun, dan naik pada 2024 menjadi Rp 856 triliun.
"Sama kaya pemerintah pusat, APBN ada defisit, kita cari pembiayaannya, sama juga di pemerintah juga ada defisit, pembiayaannya dari mana, oh dari SiLPA tahun sebelum nya," tegas Luky.
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengungkapkan secara khusus tanggapan Kementerian Keuangan terhadap kondisi keuangan yang diungkapkan Bahtiar. Menurutnya, penggunaan kata bangkrut tidak tepat menggambarkan kondisi anggaran Sulawesi Selatan saat ini yang defisit Rp 1,5 triliun.
"Tanggapan Kemenkeu adalah penggunaan istilah "bangkrut" sejatinya kurang tepat untuk memaknai ketidakmampuan Pemprov Sulsel dalam melunasi utang jangka pendek/panjang pada tahun ini," ujar Prastowo kepada CNBC Indonesia, dikutip Sabtu (14/10/2023).
Prastowo menjelaskan, sebetulnya yang dialami Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan saat ini bukanlah kebangkrutan, melainkan kesulitan likuiditas akibat dari pengelolaan utang jangka pendek yang kurang hati-hati atau prudent.
Dia mengungkapkan, hasil analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) pada 2022 dan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) pada 2023 Pemprov Sulsel menunjukkan kinerja keuangan yang kurang sehat, khususnya pada aspek likuiditas. Pada 2023, terdapat utang jangka pendek jatuh tempo dan utang jangka panjang yang menjadi kewajiban Pemprov.
"Sebagai catatan, masalah yang dialami Pemprov Sulsel adalah likuiditas (kesulitan melunasi utang jangka pendek), bukan solvabilitas (kesulitan melunasi utang jangka panjang) mengingat angsuran pokok utang jangka panjang telah dianggarkan dalam APBD 2023 pada pengeluaran pembiayaan," ujar Prastowo.
Dia menekankan, tingginya kewajiban utang tersebut sebenarnya dapat dihindari dengan optimalisasi pendapatan dan efisiensi belanja, mengingat tingginya akumulasi sisa lebih anggaran pembiayaan (SILPA) pada 2023 dan tahun-tahun sebelumnya.
"Per September 2023, SILPA Pemprov berada di angka Rp 676 miliar, dan kondisi ini diprediksi tetap terjadi hingga akhir tahun melihat tren realisasi PAD (pendapatan asli daerah) yang meningkat serta pola akumulasi SILPA pada dua tahun sebelumnya," ujar Prastowo.
Sebagai solusi atas permasalahan tersebut, Prastowo mengatakan Kemenkeu menyarankan supaya Pemprov Sulsel dapat melakukan negosiasi utang jangka pendek, restrukturisasi utang jangka panjang, optimalisasi pendapatan dan efisiensi serta realokasi belanja untuk menekan SILPA, dan/atau refinancing sebagai langkah terakhir.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Potret Sri Mulyani di Tengah Isu Mundur dari Kabinet Jokowi