
Ini Alasan AS Cs Belum Mau Danain Suntik Mati PLTU RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) buka suara, perihal belum turunnya pendanaan dari negara-negara maju termasuk Amerika Serikat (AS) untuk rencana transisi energi Indonesia termasuk pensiun dini PLTU Batu Bara.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM, Yudo Dwinanda Priaadi mengatakan dana transisi energi melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 300 triliun merupakan dana yang cukup besar. Sehingga prosesnya membutuhkan waktu.
"JETP itu kan US$ 20 miliar, jadi kamu bisa imagine prosesnya untuk transisi energi tentu tidak sederhana," kata dia ditemui usai acara UOB Gateway to ASEAN Conference 2023, ASEAN Forging Ahead di Raffles Hotel, Jakarta, Rabu, (11/10/2023).
Meski demikian, saat ini pemerintah melalui sekretariat JETP sedang menyusun Comprehensive Investment Plan and Policy (CIPP). Dimana melalui CIPP ini pemerintah dan International Partners Group (IPG) mendiskusikan mengenai proses transisi energi RI.
"Ini baru dimulai, yang pertama kita masih bicara contohnya ialah berapa target pengurangan dari pada emisi itu dulu, Karena transisi energi itu bicara ujung-ujungnya bicara soal berapa emisinya. Jadi ini masih didiskusikan masih terus berjalan," kata Yudo.
Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto menyebut negara-negara maju selama ini merupakan penghasil emisi CO2 terbesar di dunia. Sehingga sudah sewajarnya bagi mereka untuk terlibat dalam menurunkan emisi global.
Namun sayangnya, berdasarkan diskusi terakhir diketahui negara-negara maju tersebut tidak tertarik untuk mendanai program pensiun dini PLTU batu bara di Indonesia. Padahal pensiun dini PLTU menjadi langkah penting dalam menekan tingkat emisi.
"Saya kira mereka harus punya tanggung jawab. Makanya JETP adalah suatu langkah yang bagus. Kan JETP mereka berikan pendanaan US$ 20 miliar untuk transisi energi di Indonesia. Tapi sayangnya ketika kita lakukan diskusi ini mereka gak tertarik untuk pendanaan early retirement PLTU batu bara," ungkap Seto dalam Program Closing Bell CNBC Indonesia, dikutip Rabu (27/09/2023).
Menurut Seto kondisi ini menjadi suatu kendala bagi Indonesia apabila harus menjalankan program pensiun dini PLTU batu bara sendirian. Terlebih pasokan listrik yang ada di dalam negeri saat ini tengah mengalami oversupply.
"Kecuali kalau cuma 1-2 masih bisa. Jadi kita harapkan pendanaan dari negara maju bukan hanya sekedar pendanaan tapi pendanaan yang mereka berikan juga murah," katanya.
Seto membeberkan berdasarkan kajian International Energy Agency atau IEA, modal yang dibutuhkan untuk pensiun dini PLTU secara global dapat mencapai US$ 1 triliun. Sementara, dari total kebutuhan tersebut, Indonesia hanya membutuhkan puluhan miliar dollar.
"Jadi pertanyaannya bagaimana sumber pendanaan atau pembiayaan. Kalau 1-2 PLTU dari APBN atau kemudian kombinasi dengan world bank atau Asian Development Bank (ADB) masih memungkinkan tapi kalau kita lakukan secara masif terus terang ini perlu ada dorongan dari negara maju," katanya.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Jadi Korban Janji Manis AS Cs, Ini Buktinya..
