CNBC Insight

Perang Yom Kippur: Politik Minyak & Kemenangan 'Pahit' Israel

Muhammad Fakhriansyah, CNBC Indonesia
11 October 2023 09:55
Israeli soldiers and journalists take cover from Syrian planes strafing the road on the Golan Heights during the 1973 ArabIsraeli War on October 08, 1973. On October 6, 1973, on the Jewish holiday of Yom Kippur, an Arab military coalition led by Egypt and Syria launched a simultaneous surprise attack in the Sinai Peninsula and the Golan Heights, territories occupied by Israel since the 1967 ArabIsraeli War. This war provoked the oil shock of 1973 and led to the opening of peace negotiations between Israel and Egypt, concluded by the Camp David agreement in 1978. (Photo by ZE'EV SPECTOR / GPO / AFP)
Foto: AFP/ZE'EV SPECTOR

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Israel secara resmi telah mendeklarasikan perang terhadap kelompok militan Palestina, Hamas, usai digempur lewat serangan darat, udara, dan laut pada Sabtu (7/10/2023) lalu.

Pernyataan perang ini merupakan yang pertama kali dideklarasikan dalam 50 tahun sejak 1973, atau saat Perang Yom Kippur. Perang Yom Kippur sendiri adalah pertempuran yang berlangsung pada 6-26 Oktober 1973 antara Israel dengan negara-negara Arab yang dipimpin Suriah dan Mesir. 

Awal mula pertempuran ini bermula ketika pasukan gabungan Mesir dan Suriah menyerang Israel secara bersamaan dan mendadak di siang hari, 6 Oktober 1973. Ribuan pasukan dan alutsista terbaik menggempur basis-basis pertahanan Israel.

Alasannya karena mereka ingin mengambil alih kembali wilayah Semenanjung Sinai dan Dataran Tinggi Golan yang sebelum direbut Israel. Selain itu, ada motif balas dendam juga karena keduanya sempat kalah dalam Perang Enam Hari (1967).

Meski begitu, ada motif terselubung soal penyerangan ini. Mengutip paparan Afaf Lutfi al-Sayyid Marsot dalam A History of Egypt (2007), penyerangan dilakukan Presiden Mesir Anwar Sadar karena ingin masalah Israel-Palestina atau Arab-Israel kembali menjadi fokus dunia internastional.

Ketika itu, negara adidaya AS dan Uni Soviet sempat melupakan masalah regional tersebut. Hal ini membuat Mesir tidak berhasil mendapat bantuan persenjataan dari Soviet. Dari sinilah Sadat punya ide untuk memanaskan situasi dengan cara berperang singkat melawan Israel. Alhasil, dia pun mengajar Suriah yang persenjataannya lebih lengkap untuk menggempur negara tetangganya itu. 

Pada akhirnya, tindakan Mesir itu terbukti. Saat perang terjadi beberapa AS dan Soviet turun tangan. AS di sisi Israel. Sementara Soviet mendukung Mesir dan Suriah yang terwujud dalam pengiriman bantuan persenjataan.

Namun, di sisi lain bantuan negara adidaya, khususnya AS, membuat Mesir-Suriah kalang kabut. Tak butuh waktu lama, pasukan Israel dari 3 matra (darat, laut dan udara) Israel sukses mempecundangi pasukan kedua negara.  Saat Arab Saudi dan Yordania juga turut mengirim persenjataan dan alutsista untuk melawan Israel, tetap saja negara Yahudi itu bisa menang.

Sadar kalau koalisi negara Arab sudah tak bisa mungkin lagi menang secara militer, maka mereka menggunakan senjata lain, yakni minyak.

Menurut David S. Painter dalam Oil And Geopolitics: The Oil Crises Of The 1970s And The Cold War (2014), sepuluh hari sejak serangan tersebut negara-negara Arab yang tergabung dalam OPEC (Organization of Arab Petroleum Exporting Countries) memutuskan memotong pasokan minyak kepada Israel, AS dan Eropa. Tujuannya supaya Israel angkat kaki dan Palestina bisa merdeka.

Bukan cuma memotong mereka juga menaikkan harga minyak secara drastis menjadi U$ 11,65 per barel. AS dan Eropa yang bergantung besar terhadap minyak negara Arab menjadi tidak berdaya.

Sejak embargo dimulai, seluruh jalanan AS sepi karena mobil mengantre panjang di SPBU. Pada titik inilah, negara Arab secara resmi menyatakan kemenangannya. Mereka bisa menjadikan minyak sebagai senjata politik menekan AS dan Israel.

Ketika pertempuran berakhir pada 25 Oktober 1973, mereka yang kalah secara militer tetap melakukan embargo. Alhasil, situasi di Barat semakin susah. Sadar kalau kalah posisi tawar, AS lantas membuka pintu diplomasi.

Singkat cerita, diplomasi itu mengantarkan kemenangan Mesir dan Suriah secara politis. Menurut Colin Shindler dalam A History of Modern Israel (2013), kedua negara berhasil mengambil kembali wilayah Semenanjung Sinai dan sebagian Dataran Tinggi Golan dari tangan Israel. 

Pada titik ini tindakan embargo dikatakan sukses karena mencapai tujuan strategis negara-negara OPEC dan memaksa AS memulai diplomasi soal permasalahan Palestina. Sampai akhirnya, berakhirnya perang dan kemenangan politis membuat negara Arab mengakhiri embargo minyak pada 1974 atau setelah hampir 6 bulan. 


(mfa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 9 Update Gaza, Korban Perang Bertambah-Warga Ditangkap

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular