Rupiah Anjlok, Pengusaha Ini Malah Happy

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
Senin, 09/10/2023 09:15 WIB
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tak hanya memicu ketidakstabilan keuangan di Tanah Air, tetapi juga merugikan pelaku ekonomi, baik produsen dan konsumen.

Namun, ternyata ada sejumlah pelaku usaha yang malah mendulang untung atau cuan dari hasil penguatan kurs dolar AS beberapa waktu terakhir. Mereka adalah eksportir.


Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno membenarkan hal ini. Menurut Benny, bagi eksportir, penguatan kurs dolar seperti menjadi durian runtuh atau windfall, sebab pendapatan dari barang yang dijual ke luar negeri diperoleh dalam bentuk dolar. Sementara itu, biaya produksi dalam kurs rupiah.

"Penguatan dolar AS terhadap rupiah merupakan Wind Fall untuk eksportir yang komponen produksi dan bahan baku nya mayoritas Rupiah," kata Benny kepada CNBC Indonesia, Senin (9/10/2023).

Meski begitu, ia menekan tak, semua eksportir di Indonesia bisa menikmati wind fall tersebut. Sebab, beberapa di antaranya masih menggunakan barang-barang impor sebagai bahan baku produksinya. Akibatnya, wind fall yang diterima tak signifikan bagi mereka.

"Kalau yang bahan baku nya banyak USD, tidak dapat wind fall, hanya par saja. Manufactur memang bahan baku dan penolong masih ada komponen USD, tapi produksi cost nya (manufacturing cost) kan dalam rupiah seperti untuk energi dan tenaga kerja," tegas Benny.

Wakil Ketua Umum Koordinator IV Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Carmelita Hartoto juga membenarkan hal tersebut. Pelemahan kurs rupiah ditegaskannya akan membuat ketar-ketir pengusaha yang banyak memiliki utang dalam dolar tapi pendapatannya rupiah, serta banyak menggunakan barang impor.

"Namun, dampak pelemahan nilai tukar rupiah tidak memukul rata pada seluruh sektor bisnis dan pelaku usaha. Bagi manufaktur yang berorientasi ekspor tentu ini akan berdampak positif," ujar wanita yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Perhubungan dan Logistik Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) itu.

Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede mencontohkan industri yang masih banyak menggunakan barang impor sebagai bahan baku atau barang modal produksi di antaranya industri farmasi atau industri petrokimia, hingga makanan-minuman, dan tekstil.

"Sektor-sektor yang kami perkirakan akan terdampak dari adanya pelemahan rupiah yakni sektor yang mengandalkan bahan baku impor seperti Makanan dan Minuman, terutama yang banyak bahan baku impor seperti Gandum, Gula, dan Kedela, lalu sektor Farmasi, Elektronik dan Barang Elektrikal, dan Tekstil," ucap Josua.

Sebagai informasi, nilai tukar rupiah cenderung tertekan di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) selama pekan ini. Mata uang garuda tidak sendirian karena dua tetangga RI turut takluk di depan greenback.

Menurut data Refinitiv, rupiah ditutup di angka Rp15.605/US$ atau menguat 0,03% terhadap dolar AS pada Jumat (6/10/2023).

Posisi ini berkebalikan dengan penutupan perdagangan Kamis (5/10) yang menguat 0,10%. Sedangkan secara mingguan, rupiah terpantau melemah sebesar 1% atau melemah dalam lima minggu berturut-turut.

Sementara indeks dolar AS (DXY) pada Jumat (6/10) berada di posisi 106,04 atau turun 0,27% jika dibandingkan penutupan perdagangan Kamis (5/10) yang berada di posisi 106,33.

Selain rupiah, baht Thailand juga melemah hingga 1,04% sepekan terhadap dolar AS. Demikian pula ringgit Malaysia yang loyo hingga minus 0,35% dalam periode yang sama.


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Solusi Bubut dan Milling Baru Diperkenalkan untuk Efisiensi