
4 Fakta Referendum Tetangga RI, Untuk Buat Negara Baru?

Jakarta, CNBC Indonesia - Australia akan segera mengadakan referendum baru pada 14 Oktober mendatang. Meski begitu, Canberra memberikan kebebasan bagi warga yang tak dapat memilih pada tanggal 14 untuk mulai mengirimkan suaranya pada Selasa lalu.
Namun apa saja fakta terkait referendum ini? Apakah referendum akan membuat negara baru? Berikut rangkuman CNBC Indonesia dari sejumlah sumber, Jumat (6/10/2023).
Apa yang Dibahas?
Referendum ini bertujuan untuk meningkatkan hak-hak penduduk asli Australia. Ini akan memutuskan, apakah negeri itu pada akhirnya akan mengakui orang-orang Aborigin, yang selama ini dikenal sebagai First Nations dalam konstitusi.
Meski sudah berada di Australia selama 60.000 tahun sebelum pemerintah kolonial Inggris, hingga saat ini, hak-hak mereka masih sangat lemah. Terutama kesehatan, pendidikan, hingga suara ke pemerintah.
Kegiatan referendum sendiri akan membawa mereka pada apa yang disebut "Suara Masyarakat Adat" di parlemen. Jika disetujui, Suara Masyarakat Adat yang Sudan direkomendasikan sejak 2017 melalui "Pernyataan Uluru" diharapkan bisa membuat First Nation bersuara lebih banian dan tersampaikan.
Bukan hanya Aborigin, penduduk asli Pribumi Selat Torres juga bisa memberikan masukan kepada pemerintah. Sehingga referendum sendiri sebenarnya bukan untuk membuat negara baru melainkan menguatkan posisi warga pribumi.
Bagaimana Cara Kerjanya?
Intinya "Suara Masyarakat Adat" akan bekerja berdasarkan sejumlah prinsip. Yakni:
1. Suara masyarakat adat akan memberikan nasihat independen kepada parlemen dan pemerintah.
2. Akan dipilih oleh orang-orang asli atau First Nations berdasarkan keinginan komunitas lokal.
3. Ini akan mewakili komunitas Aborigin dan Penduduk Pribumi Selat Torres.
4. Hal ini akan memberdayakan, dipimpin oleh masyarakat, inklusif, penuh hormat, berdasarkan informasi budaya dan seimbang gender. Ini juga akan mencakup generasi muda.
5. Proses akan akuntabel dan transparan.
Laporan yang dirancang bersama Calma-Langton merekomendasikan "Suara Masyarakat Adat" di palemen berjumlah 24 anggota. Keseimbangan gender terjamin secara struktural.
Dari 24 anggota, dua angora masing-masing akan berasal dari negara bagian, Northern Territory, ACT (wilayah ibu kota), dan Selat Torres. Lalu, lima anggota lainnya akan mewakili daerah terpencil karena kebutuhan unik, dengan masing-masing satu anggota perwakilan.
Mereka antara lain berasal dari Northern Territory, Western Australia, Queensland, South Australia dan New South Wales. Anggota tambahan akan mewakili populasi besar penduduk Kepulauan Selat Torres yang tinggal di daratan.
"Anggota akan menjalani masa jabatan empat tahun, dengan separuh keanggotaan ditentukan setiap dua tahun. Akan ada batasan dua periode berturut-turut untuk setiap anggota," muat penjelasan The Guardian.
Bagaimana Hasilnya Sementara Ini?
Belum ada angka pasti bagaimana suara dihasilkan saat ini. Namun mengutip VOA, survei baru-baru ini menunjukan pelemahan pada yang mendukung referendum.
Mereka yang mendukung hanya 40%. Sementara, dari data awal pekan ini, yang menentang 60%.
Padahal tahun lalu, situasi relatif berbeda. Kurangnya rincian dan muncul birokrasi tak perlu disinyalir menjadi penyebab.
Rasisme Meningkat
Sementara itu, mengutip aduan Call It Out, angka adman rasisme kini pun meningkat di Australia. Per Juli, bahkan mencapai 30%.
Saluran bantuan kesehatan mental nasional untuk masyarakat First Nations, 13YARN, memberikan gambaran serupa. Terdapat peningkatan 108% dalam jumlah penelepon yang melaporkan pelecehan, rasisme, dan trauma pada bulan Maret-Juni dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kata seorang juru bicara.
Terbaru, mengutip AFP, seorang senator Australia yang berasal dari suku Aborigin, Lidia Thorpe, menjadi sasaran ancaman dan pelecehan rasial dalam sebuah video di media sosial. Seorang pria mengenakan balaclava yang mengaku berasal dari kelompok neo-Nazi, membakar bendera suku Aborigin, melakukan penghormatan Nazi, dan mengancam Senator Thorpe.
"Di mana perlindungan untuk saya dari negara ini?" kata Thorpe di konferensi pers di Melbourne.
"Saya tidak bersembunyi selama sembilan hari ke depan. Anda akan mendengar kabar dari saya. Saya tidak takut," tambahnya lagi.
Sementara itu, Perdana Menteri Anthony Albanese mengatakan telah melakukan penyelidikan. Ia menegaskan tindakan rasisme itu tak bisa diterima di Australia.
"Saya telah melihat video yang dimaksud yang mengancam Senator Thorpe dan pemerintah, dan retorika serta pernyataan Nazi yang ada dalam video tersebut tidak dapat diterima dalam wacana kehidupan politik Australia," kata Albanese seperti dikutip Reuters.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 5 Fakta Referendum Bersejarah di Tetangga RI
