Ada Transaksi Karbon, Awas Biaya Penyediaan Listrik Melejit!

Firda Dwi Muliawati, CNBC Indonesia
03 October 2023 13:45
Ilustrasi (Photo by Pixabay from Pexels)
Foto: Ilustrasi (Photo by Pixabay from Pexels)

Jakarta, CNBC Indonesia - Reforminer Institute mengungkapkan bursa karbon yang diresmikan di Indonesia merupakan langkah tepat pemerintah untuk mencapai target netral emisi karbon (NZE) di Indonesia tahun 2060. Namun hal tersebut dinilai bisa membuat biaya pokok penyediaan (BPP) listrik semakin meningkat.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menyampaikan, ada konsekuensi yang harus diambil oleh pemerintah dalam peresmian bursa karbon dalam negeri, yakni terkait dengan ancaman biaya tambahan yang dibebankan pada BPP tenaga listrik.

"Kalau sebelumnya katakanlah tidak ada biaya tambahan, dengan adanya bursa karbon ini kan tentu akan ada tambahan, tentu masih tergantung nanti capping-nya dibatasan berapa karena nanti ada capping, kemudian ada trade begitu ya kalau melebihi capping-nya kan pasti akan ada biaya yang harus dikeluarkan," ujar Komaidi kepada CNBC Indonesia dalam program Energy Corner, Selasa (3/10/2023).

Dia menyebutkan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebelumnya telah menerbitkan baku mutu untuk lingkungan di semua sektor termasuk sektor kelistrikan.

Atas baku mutu yang diterbitkan oleh KLHK itu, Komaidi mengatakan PLN sebagai perusahaan listrik pelat merah di Indonesia sudah memperhitungkan bahwa nantinya akan ada tambahan biaya hingga Rp 120 per KWh.

"Nah ini makanya nanti tergantung nih, karbonnya kira-kira capping-nya ditetapkan di berapa, terus kemudian. selisihnya berapa, itu yang tentu akan menjadi additional cost bagi teman-teman di sektor kelistrikan," tambahnya.

Apalagi, Komaidi menilai Indonesia saat ini masih didominasi oleh sumber tenaga lisrik dari batu bara yang menyumbang sebagian besar karbon emisi di dalam negeri.

"Dan mengingat sampai sejauh ini, kalau berdasarkan satuan produksi ya, sebagian besar mungkin sekitar around 70% itu produksi listrik kita masih dari berbasis fosil terutama batubara," tandasnya.

Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membeberkan pihaknya sedang menyiapkan aturan baru mengenai perdagangan karbon di bursa karbon dalam negeri. Peraturan tersebut akan berisi tentang batas atas perdagangan yang dilakukan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan saat ini pihaknya sedang merumuskan batasan atas karbon untuk pembangkit . Dia mengatakan bahwa batasan atas untuk pembangkit listrik berbeda-beda sesuai dengan kapasitas masing-masing pembangkit.

"Kan ada beberapa kelas. Misalkan batasnya 1,05 kg co2/kwh dan dia lebih dari situ, maka dia harus menurunkan. Kalau lebih (dari batas atas), maka harus turunkan, dengan mencari dari PLTU di bawah dari batasan tadi, ini mekanismenya perdagangan," jelas Dadan saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (29/9/2023).

Selain itu, Dadan juga mengatakan bahwa peluncuran mekanisme bursa karbon dalam negeri baru-baru ini sudah mulai diberlakukan di sektor ESDM. Sehingga pihaknya nantinya akan mendorong perdagangan karbon dari sektor energi dalam negeri.

"Sepertinya itu yang diminta kemarin itu (partisipasi bursa karbon). Kan yang sudah berjalan dari sektor ESDM itu. Jadi, bisa didorong nanti perdagangan karbon," tambahnya.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dagang Karbon, RI Akan Ketiban 'Durian Runtuh' Ribuan Triliun

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular