RI Awas! China Diramal Bakal Masuk 'Jurang'
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Dunia atau World Bank semakin merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi negara dengan kapasitas ekonomi kedua terbesar setelah Amerika Serikat, yakni China. Pertumbuhan ekonomi China pada 2024 diperkirakan tak sampai 4,5%. Indonesia sebagai mitra dagang utama China harus bersiap.
Mengutip laporan World Bank's East Asia and Pacific (EAP) October 2023 Economic Update, pertumbuhan ekonomi China pada 2024 hanya akan mencapai 4,4%, lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi EAP April 2023 yang berada di level 4,8%. Dibanding proyeksi untuk 2023 yang sebesar 5,1% pun pertumbuhan tahun depan makin jauh tertinggal.
Laju pertumbuhan ekonomi China ini jauh lebih lambat dibandingkan dengan kondisi pertumbuhan pada 2021 yang mampu mencapai 8,4%, meskipun masih lebih baik dari kondisi pada saat 2022 yang hanya tumbuh 3% dan pada saat merebaknya Pandemi Covid 19 pada 2020 yang tumbuh sebesar 2,2%.
"Untuk negara yang menjadi mesin pertumbuhan tidak hanya di kawasan ini tapi juga di seluruh dunia, yakni China mengalami perlambatan pertumbuhan," kata Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik, Aaditya Mattoo saat konferensi pers secara daring, Senin (2/10/2023).
Aaditya Mattoo menjelaskan, kondisi proyeksi pertumbuhan ekonomi China ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan pada masa lalu dan rancangan faktor pendorong pertumbuhan yang tengah digarap pemerintahannya untuk masa depan. Namun, setiap langkah yang diambil pemerintahnya akan mempengaruhi kondisi pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Timur dan Pasifik.
"Dan apa yang terjadi di China penting bagi seluruh kawasan, sebab penurunan pertumbuhan sebesar 1 persen terkait dengan penurunan pertumbuhan regional sebesar 0,3 poin persentase," ucapnya.
Menurut Mattoo, terkait faktor kondisi masa lalu, yang pada saat itu pertumbuhan ekonomi China sebagian besar didorong oleh investasi di bidang infrastruktur dan properti, telah membuat perusahaan dan pemerintahannya terbebani oleh utang yang membengkak.
Kondisi ini terjadi terutama setelah sampainya titik jenuh sektor properti di negara itu yang kemudian menghasilkan keuntungan yang berkurang karena kelebihan pasokan perumahan dan menyebabkan juga harga properti di negara itu turun.
"Satu dimensi perlambatan ini disebabkan bagaimana China bertumbuh pada masa lalu mereka banyak bergantung pada investasi di bidang infrastruktur dan real estat. Pertumbuhan ini makin menurun dan membuat banyak perusahaan berutang dan rumah tangga berutang juga, karena aset properti mereka kini turun," tegas Mattoo.
Rasio agregat utang non sektor keuangan domestik terhadap PDB China pun telah meningkat lebih dari dua kali lipat dari 132 persen pada tahun 2007 menjadi 285 persen pada tahun 2023.
Properti menyumbang 65 persen dari total aset rumah tangga, dan pada Juli 2023, harga rumah di pasar sekunder di tingkat yang lebih rendah kota-kota besar berada lebih dari 20 persen di bawah puncak pada 2021.
Kondisi ini menurutnya diperburuk dengan lingkungan eksternal yang menjadi lebih menantang, dengan melemahnya permintaan eksternal yang membebani pertumbuhan dalam jangka pendek dan ketegangan geo-ekonomi yang menghambat akses terhadap teknologi-teknologi penting.
Oleh sebab itu, Mattoo melanjutkan, pemerintah China kini tengah masuk ke faktor kedua, yakni mencari pendorong pertumbuhan baru berdasarkan konsumsi dan inovasi yang dapat menghindari permasalahan yang melekat pada model pertumbuhan lama, namun transisi tersebut tak semulus perkiraan.
Beberapa pilihan dan perubahan kebijakan telah memperburuk ketidakpastian bagi konsumen dan investor. Terlihat dari anjloknya indeks keyakinan konsumen China yang terus berada di level bawah 100 sejak kuartal II-2023 hingga saat ini. Serta investasi korporasi yang bahkan minus di berbagai sektor seperti yang terbesar pendidikan dan internet masing-masing minus 0,74% dan 0,57%.
"Ketidakpastian kebijakan itu semakin melukai investasi, terutama sektor-sektor seperti yang berkaitan dengan internet dan edukasi, seperti yang kita lihat ada perubahan yang signifikan dalam hal kebijakan," tutur Mattoo.
Hilangnya kepercayaan, yang sebagian disebabkan oleh turunnya harga properti, meningkatnya utang, dan dampak penuaan pada masyarakatnya atau aging population, telah menyebabkan peningkatan tingkat tabungan yang sudah tinggi menjadi 33%.
Sementara itu, pertumbuhan investasi aset tetap swasta menurut Mattoo malah berada pada kisaran 0% sejak 2021, terbebani oleh tingginya utang, penurunan laba operasional, dan ketidakpastian yang terus berlanjut.
Indeks Harga Produsen mengalami penurunan rata-rata 0,4% per bulan pada Januari-Juli 2023, dengan deflasi yang mengancam akan menambah beban utang riil dan menggerus keuntungan perusahaan.
Karena itu, Mattoo berpendapat, untuk menangani permasalahan ini pemerintah China bisa mulai melakukan reformasi struktural yang lebih kuat, termasuk liberalisasi lebih lanjut sistem Hukou, hingga jaring pengaman sosial yang lebih kuat.
"Serta prediktabilitas peraturan yang lebih besar untuk investasi pada produk-produk inovatif dan ramah lingkungan, juga dapat membantu menghidupkan kembali konsumsi dan investasi, sehingga menciptakan landasan bagi pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan," ucapnya.
(mij/mij)