Jokowi Benar, Ini Ngeri! Bank Dunia Ungkap 3 Momok Ancam RI

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
02 October 2023 12:40
393293 01: A view of the World Bank building October 5, 2000 in Washington, DC. The World Bank bank lends money to developing countries around the world. (Photo by Per-Anders Pettersson/ Getty Images)
Foto: Getty Images/Per-Anders Pettersson

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Dunia atau World Bank mencatat, ada tiga kondisi yang bisa membuat pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia, terus melemah hingga 2024. Tiga faktor itu terkait dengan kondisi utang yang terus membengkak, melambatnya ekonomi China, hingga bermasalahnya iklim perdagangan dunia.

Dalam laporan World Bank's East Asia and Pacific (EAP) October 2023 Economic Update diproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Timur dan Pasifik hanya akan tumbuh 5% pada 2023, lebih rendah dari proyeksi EAP April 2023 sebesar 5,1%. Proyeksi pada 2024 pun makin direvisi ke bawah menjadi 4,5% dari sebelumnya diperkirakan tumbuh 4,8%.

Untuk Indonesia sendiri, proyeksi pertumbuhan ekonominya telah diperbarui menjadi 5,0% dari proyeksi April sebesar 4,9%. Sedangkan untuk 2024 pertumbuhannya hanya menjadi 4,9% dari sebelumnya tetap di level 4,9%. China pun demikian, untuk 2023, proyeksi pertumbuhan ekonominya tetap di level 5,1%, namun pada 2024 turun dari sebelumnya diperkirakan 4,8% menjadi hanya 4,4%.

Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik Aaditya Mattoo menjelaskan, dari aspek terus membengkaknya utang negara-negara kawasan ini setelah masa Pandemi Covid-19, membuat terbatasnya ruang fiskal, menghambat investasi publik, dan membebani investasi swasta.

"Jadi kawasan yang dikenal sebagai kawasan yang hemat, kini mereka mengalami tingkat utang sangat tinggi. Utang yang tinggi ini bukan hanya ditunjukkan oleh satu negara atau pemerintah tapi juga di sektor korporasi atau rumah tangga," kata Mattoo saat konferensi pers secara daring, Senin (2/10/2023).

Mattoo mencatat, tingginya kenaikan tingkat utang ini terjadi di kawasan dalam satu dekade terakhir. Misalnya, tingkat utang pemerintah Indonesia dari 2010 hanya sebesar 25% dari PDB menjadi kini tembus 39% dari PDB. China dari 25% menjadi 51%, Thailand dari 28% menjadi 54%, dan Malaysia dari 48% menjadi 60% terhadap PDB nya.

Lalu utang rumah tangga untuk Indonesia naik dari 14% menjadi 16% terhadap PDB, dan China dari 27% menjadi 62%, hingga Thailand dari 59% menjadi 86%. Sedangkan utang korporasi non finansial juga naik, seperti Indonesia dari 15% menjadi 25%, China dari 115% menjadi 172%, dan Vietnam dari 74% menjadi 112%.

"Utang yang tinggi di kalangan sektor rumah tangga artinya mereka memiliki sisa uang yang sedikit, sedangkan untuk pemerintah dan korporasi artinya sumber daya investasi pun semakin berkurang," ucap Mattoo.

Faktor kedua yang akan mengganggu laju pertumbuhan kawasan ke depan menurut Mattoo adalah ekonomi China sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi kawasan maupun dunia. Ekonomi China melambat disebabkan selain peningkatan utang, juga dipengaruhi lemahnya sektor properti, hingga faktor-faktor struktural seperti usia warga yang semakin tua.

China juga menurutnya tengah melakukan reformasi dari yang selama ini pertumbuhannya bergantung pada investasi di bidang infrastruktur dan real estat. Terutama karena pertumbuhan dengan cara ini semakin melemah dan membuat banyak perusahaan berutang, demikian juga sektor rumah tangga, dan aset properti mereka yang semakin turun.

"Pada saat yang sama Tiongkok berupaya melakukan transisi dari model pertumbuhan semacam itu, yang bergantung pada konsumsi dan investasi, terutama untuk memastikan pertumbuhannya lebih inklusif," ucap Mattoo.

Faktor ketiga, ia menekankan, adalah mengetatnya iklim perdagangan global. Selain karena semakin lambatnya permintaan global, permasalahan ini menurut Mattoo juga disebabkan ketegangan geopolitik di berbagai wilayah, termasuk antara China dan Amerika Serikat yang membuat perdagangan menjadi salah satu instrumen ketegangan untuk menekan dan mengeluarkan kebijakan pembatasan.

Kendati begitu, Mattoo menekankan, dari tiga permasalahan itu, setidaknya ada satu aspek yang bisa membuat pertumbuhan ekonomi di kawasan tetap mampu tumbuh lebih lanjut pada 2024, yaitu reformasi di sektor jasa dan mengkombinasikannya dengan teknologi digital. Sektor jasa menurut Mattoo terbukti ampuh menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi kawasan beberapa tahun ini.

"Reformasi jasa dan digitalisasi dapat menghasilkan siklus yang baik dalam meningkatkan peluang ekonomi serta mengembangkan kapasitas sumber daya manusia yang mendorong pembangunan di kawasan ini," kata Mattoo.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Happy! RI Masuk ke Daftar Negara Kelas Menengah Atas

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular