RI Didesak Suntik Mati PLTU, AS Cs Harus Tanggung Jawab Danai

Verda Nano Setiawan, CNBC Indonesia
27 September 2023 17:15
PLTU Tanjung Jati B yang merupakan salah satu pembangkit yang paling diandalkan oleh PLN untuk memenuhi kebutuhan listrik sistem interkoneksi Jawa-Bali.

PLTU Tanjung Jati B memegang peran sentral dalam sistem interkoneksi Jawa-Bali


Hingga triwulan III 2019, PLTU dengan kapasitas 4 x 710 MW ini memiliki kesiapan produksi listrik (Equivalent Availability Factor – EAF) hingga 93,6% selama setahun.

Sejak pertama kali beroperasi pada tahun 2006 PLTU Tanjung Jati B menjadi tulang punggung kelistrikan Jawa-Bali. 

PLTU Tanjung Jati B berkontribusi 12% atau  setara dengan kebutuhan listrik sekitar 5 juta pelanggan rumah tangga

Keberadaan pembangkit ini diharapkan tidak hanya bermanfaat bagi  kontinyuitas suplai listrik, namun juga turut membantu pemerintah dalam penghematan APBN.


Secara produksi listrik PLTU Tanjung Jati B mampu berkontribusi sebesar 12% atau setara denagan kebutuhan listrik sekitar 5 juta pelanggan rumah tangga.  (CNBC Indonesia/Peti)
Foto: PLTU Tanjung Jati B di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. (CNBC Indonesia/Peti)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah menilai dukungan negara maju dalam mendanai program transisi energi di Indonesia sangat penting. Terutama terkait rencana penghentian operasional sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) lebih cepat dari rencana awal, alias pensiun dini.

Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto menyebut negara-negara maju selama ini merupakan penghasil emisi CO2 terbesar di dunia. Sehingga mereka juga mempunyai tanggung jawab yang besar untuk turut menurunkan emisi itu.

"Jadi kalau kita lihat dari data yang kita miliki, AS, Kanada, dan beberapa negara di Eropa emisi CO2 per kapita nya besar, bisa 4 bahkan 7 kali lebih besar dari Indonesia. Saya kira mereka harus punya tanggung jawab," kata Seto dalam Program Closing Bell CNBC Indonesia, dikutip Rabu (27/09/2023).

Namun sayangnya, berdasarkan diskusi terakhir diketahui negara-negara maju tersebut tidak tertarik untuk mendanai program pensiun dini PLTU batu bara di Indonesia.

Padahal Indonesia dan negara maju telah menyepakati pendanaan melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 300 triliun untuk mendorong transisi energi di tanah air.

"Tapi sayangnya ketika kita lakukan diskusi ini mereka gak tertarik untuk pendanaan untuk pensiunkan dini (early retirement) PLTU batu bara ini," kata Seto.

Oleh sebab itu, Seto menilai hal ini menjadi suatu kendala bagi Indonesia apabila harus menjalankan program pensiun dini PLTU batu bara sendirian. Apalagi pasokan listrik yang ada di dalam negeri saat ini tengah over supply.

"Kalau kita disuruh sendiri untuk early retirement batu bara ini saya kira kendala dari sisi anggaran pasti akan membuat ini tidak memungkinkan. Kecuali kalau cuma 1-2 masih bisa. Jadi kita harapkan pendanaan dari negara maju bukan hanya sekedar pendanaan tapi pendanaan yang mereka berikan juga murah," katanya.

Menurut Seto, berdasarkan kajian International Energy Agency atau IEA, modal yang dibutuhkan untuk pensiun dini PLTU secara global dapat mencapai US$ 1 triliun. Sementara, dari total kebutuhan tersebut, Indonesia hanya membutuhkan puluhan miliar dollar.

"Jadi pertanyaannya bagaimana sumber pendanaan atau pembiayaan. Kalau 1-2 PLTU dari apbn atau kemudian kombinasi dengan world bank atau Asian Development Bank (ADB) masih memungkinkan tapi kalau kita lakukan secara masif terus terang ini perlu ada dorongan dari negara maju," katanya.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pemerintah Bahas Suntik Mati 2 PLTU Batu Bara

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular