Perang Rusia Ukraina

Ukraina Disebut Kritis, Rusia Cium "Bau Darah"

sef, CNBC Indonesia
27 September 2023 05:40
Perdana Menteri Inggris, Rishi Sunak (kanan), menyapa Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, saat tiba di Checkers pada 15 Mei 2023 di Aylesbury, Inggris. Dalam beberapa hari terakhir, Zelensky telah melakukan perjalanan untuk bertemu dengan para pemimpin Barat mencari dukungan untuk Ukraina dalam perang melawan Rusia. Perdana Menteri Inggris, Rishi Sunak, akan menegaskan kembali pentingnya memberikan paket dukungan penuh dan akan mengkonfirmasi pasokan rudal dan drone pertahanan udara untuk membantu pertahanan Ukraina hari ini. (Carl Court/Getty Images)
Foto: Perdana Menteri Inggris, Rishi Sunak (kanan) dan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky (Getty Images/Carl Court)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ukraina disebut sedang tak baik-baik saja. Jajak pendapat di Eropa dan Amerika Serikat (AS) terbaru, yang dilakukan pada musim panas ini, menunjukan posisi negeri itu sedan "kritis".

Ini terkait dukungan terhadap langkah-langkah yang mendukung Ukraina, terutama dalam hal pendanaan tambahan dan pasokan peralatan militer. Disebutkan bagaimana penurunan sedang terjadi.

"Perpecahan partisan tampaknya muncul baik di Eropa maupun Amerika dalam mendukung Ukraina," kata analis geopolitik Teneo, dikutip CNBC International, Rabu (27/9/2023).

"Pemerintah negara-negara di dunia kini berhati-hati dalam memprioritaskan politik dan kebijakan dalam negeri dibandingkan Ukraina, terutama karena pemilu akan segera tiba, termasuk negara sekutu seperti Polandia, Slovakia, dan AS," tambahnya.

Ini pun dicium Rusia. Kremlin disebut "sedang mencium bau darah" merujuk pada idiom kelemahan Ukraina dan berupaya mengeksploitasi kelemahan serta perpecahan kemitraannya seiring dengan perubahan sikap masyarakat terhadap perang.

Presiden Rusia Vladimir Putin disebut telah membaca ini dan mengandalkan berkurangnya dukungan Barat baik secara politik maupun militer. Itu pun membuat sejarawan, dan penulis terkemuka Rusia, Sergei Medvedev, bersuara, mengaku khawatir dengan tekad Barat di Ukraina.

"Semua orang cemas mengenai pemilu AS pada tahun 2024 dan suasana hati masyarakat Amerika, terutama jika Trump atau Partai Republik secara umum sembali menjabat. Jadi ada banyak variabel, dan ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan," katanya mencontohkan AS.

Hal sama juga dikatakan peneliti di Foreign Policy Research Institute dan penulis "Economic War: Ukraine and the Global Conflict Between Russia and the West", Max Hess. Ia mengatakan perpecahan Barat sangat potensial terjadi.

"Putin tidak diragukan lagi 'memainkan permainan jangka panjang', dan percaya bahwa waktu akan berpihak padanya, sebagaimana dibuktikan dengan rencana terbaru (Rusia) dengan menggandakan anggaran pertahanan (lagi) untuk tahun depan," jelasnya.

"Ada banyak alasan untuk berpikir bahwa potensi perpecahan di Barat adalah sesuatu yang ingin dieksploitasi, dan akan secara aktif berupaya untuk terlibat di dalamnya ... dia membutuhkan perpecahan di negara besar (sepert) Jerman, Prancis, Inggris, AS," tambahnya.

Hal ini tak main-main. Ketika keretakan terjadi antara Polandia dan Ukraina pekan lalu, Kremlin dengan cepat memanfaatkan ketegangan tersebut.

Polandia bersitegang dengan Kyiv karena masalah ekspor pertanian. Produk Ukraina pun dibatasi karena membanjiri pasar dan dianggap mempengaruhi harga.

Sekretaris Pers Putin, Dmitry Peskov diketahui langsung mengatakan kepada wartawan bahwa ia dapat melihat ada perselisihan yang pasti antara Warsawa dan Kyiv. Ia memperkirakan bahwa "friksi antara Warsawa dan Kyiv akan meningkat".

Perang Rusia dan Ukraian sudah berlangsung sejak 2022. Keinginan Ukraina bergabung ke NATO menjadi salah satu alasan.

Shutdown AS dan Ukraina

Sementara itu, AS sendiri saat ini sedang dalam ancaman shutdown atau penutupan pemerintah. Hal ini disebabkan perdebatan panas di Kongres sehingga parlemen belum dapat menetapkan anggaran.

Salah satu perdebatan panas yang menghiasi Parlemen Negeri Paman Sam adalah bantuan untuk Ukraina yang sedang berperang melawan Rusia. Diketahui, Washington merupakan adalah donor terbesar untuk Ukraina, yang sejauh ini telah menghabiskan lebih dari US$ 113 miliar (Rp 1.746 triliun).

Beberapa sumber di parlemen mengatakan kepada New York Times bahwa poin utama yang menjadi kendala adalah apakah akan menambahkan hingga US$ 25 miliar (Rp 386 triliun) bantuan baru ke Ukraina. Pihak oposisi di Partai Republik sendiri menolak pengajuan yang diminta oleh Gedung Putih ini.

"Meskipun ada dukungan bipartisan yang luas di Senat mengenai dana untuk Ukraina, beberapa anggota Partai Republik berargumentasi bahwa hal ini akan menambah kerumitan dalam upaya memberikan jalan keluar kepada Ketua Kevin McCarthy untuk keluar dari kebuntuan belanja negara," kata para pejabat dikutip Selasa.

Pada Senin, Anggota DPR Partai Republik asal Georgia, Marjorie Taylor Greene, mengatakan bahwa pihaknya masih menolak usulan terkait Ukraina, apalagi bila menyangkut pendanaan terpisah bagi negara yang sedang berperang itu. Diketahui, pemisahan anggaran akan menyelamatkan pendanaan negara itu untuk kebutuhan domestik krusial.

"Berapa banyak anggota Partai Republik yang akan memilih untuk memberi Biden cek kosong guna mendanai perang proksinya dengan Rusia di Ukraina?," paparnya dalam akun media sosial X nya.


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perang Berlanjut! Rusia Kirim Rudal ke Ukraina, Listrik Langsung Padam

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular