Bos Ritel Modern Ungkap Ancaman Bahaya Jual Rugi di Ecommerce

Martyasari Rizky, CNBC Indonesia
21 September 2023 12:05
infografis barang yang paling banyak diborong dari toko online
Foto: infografis/ infografis barang yang paling banyak diborong dari toko online/ Aristya Rahadian Krisabella

Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mendesak Kementerian Perdagangan (Kemendag) segera menerbitkan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 50/2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Seperti diketahui, revisi ini direncanakan sebagai upaya pemerintah mengatur perdagangan di e-commerce agar tak menjual barang impor murah, senilai sekitar US$100 atau setara Rp1,5 juta (kurs Rp15.396 per dolar AS).

Menjamurnya e-commerce dan kini diikuti tren social-commerce dikhawatirkan akan membuka pasar Indonesia terlalu lebar dan bebas bagi barang impor. Di sisi lain, tak ada jaminan hak konsumen dilindungi.

"Sikap Aprindo sudah jelas, kami setuju revisi Permendag 50/2020 itu harus cepat, karena Permendag 50 yang dulu itu belum ada istilah social-commerce. (Sedangkan) sekarang sudah ada istilah social-commerce, social media dan e-commerce. Kalau dulu kan hanya e-commerce," kata Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey dikutip Kamis (21/9/2023). 

Roy menyebut Kemendag seakan bergeming terkait revisi Permendag 50/2020. Padahal revisi dalam peraturan tersebut mendesak harus segera diundangkan agar social-commerce tidak semakin menggerus produk lokal.

"Suaranya kok rasa-rasanya sekarang dari Kemenkop UKM. Kenapa? Maksud tujuannya memang agar UMKM dilindungi, tapi kami juga ingin suara tegas dari Kemendag dong, mengejar dari sisi perdagangannya ini," ujarnya.

Untuk itu dia meminta agar bukan hanya Kementerian Koperasi dan UKM saja yang bergerak aktif, melainkan Kemendag juga harus di garda depan melakukan langkah cepat sebelum social commerce nya ini menggerus daripada produk lokal maupun produk-produk yang ada di ritel.

Roy menjelaskan, social-commerce bermula sejak salah satu aplikasi social media memperkenalkan cara berjualan baru, yakni melalui platform media sosial yang memiliki platform belanja online sendiri. Parahnya, kata Roy, munculnya platform belanja online milik media sosial tersebut, jadi pintu masuk baru untuk barang-barang dari luar negeri alias impor.

"Kita dari peritel itu sangat prihatin barang tidak masuk melewati bea cukai, masuknya barang black market, hingga barang crossborder, oleh sebabnya disarankan untuk pembatasan barang impor minimal US$100 atau setara Rp1,5 juta," jelas Roy.

"Pembatasan barang di bawah US$100 dinilainya sangat penting. Karena kalau nggak masyarakat kita yang menengah ke atas pasti belanjanya di atas US$100, tapi yang menengah ke bawah itu di bawah US$100 pasti, yang beli barang-barang dari social commerce itu," kata dia.

Jual Rugi Hingga Serbuan Impor

Yang tidak kalah pentingnya, lanjut Roy, Permendag 50/2020 juga harus ada pengaturan larangan predatory pricing.

"Karena yang sekarang ini terjadi dilematisnya adalah itu barang murah disubsidi oleh si platform tersebut. Makanya minyak wangi harganya bisa Rp1.000, jam tangan Rp5.000. Karena itu barangnya disubsidi dari platform (tersebut). Nah itu yang dinamakan predatory price," ungkap Roy.

Selain itu, Roy mengingatkan, revisi Permendag 50/2020 harus mengatur perlindungan bagi konsumen.

"Perlindungan bagi konsumennya bagaimana? Kalau barangnya palsu siapa yang akan menjustifikasi. Nah kalau di ritel beli TV di rumah tiba-tiba nggak nyala Bisa dibalikin. Nah kalau di sosial commerce mau Balikinnya gimana? Artinya harus ada perlindungan konsumen yang setara dengan barang-barang yang ada di ritel offline," lanjutnya.

"Jadi kita sangat mendesak dan berharap ini segera direalisasikan," pungkas Roy.


(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Supermarket Ancam Setop Jualan Migor, Begini Kondisinya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular